Disclaimer: Tulisan ini murni dari refleksi dan perasaan saya pribadi yang didasarkan atas pengetahuan saya yang terbatas dalam banyak hal.
Ada
sebuah pertanyaan yang menggelitik saya pagi ini, “Apa pendapatmu tentang
situasi awkward kemarin saat seorang WNI muslimah yang mengajak WNA
non-Muslim mengucapkan kalimat syahadat ‘Asyhadu an laa…’ ?
Sontak
saya tersenyum kaget dan merespon, “Dia cuma lagi jadi orang Indonesia yang
suka guyon aja kok.”
Sebelum
lanjut dengan alasan saya menjawab seperti itu, silakan simak cuplikan dialog
dari film komedi ini yang semoga bisa menjadi pembuka yang hangat untuk tulisan
ini:
Tangkapan layar dari akun instagram @relaxitsjustreligion |
KLIK DI SINI untuk mengarah ke postingan akun instagram.
Kalimat-kalimat
berbahasa Arab itu tentu saja mengandung arti yang baik. Bahkan diucapkan
dengan maksud baik dan dalam dalam konteks yang tepat pula. Dalam alam bawah
sadar kita, kosakata Bahasa Arab biasanya hanya diucapkan oleh pemeluk agama
Islam. Namun jika kalimat tersebut diucapkan oleh bukan pemeluk Islam, apakah
mengurangi maknanya? Atau terdengar tidak serius? Atau bagaimana?
Refleksi
pribadi ini juga bukan dalam rangka mereduksi prosesi seremonial dari agama
tertentu dan menganggapnya sebagai sebuah lelucon. Saya hanya mulai menyetujui
sebuah gerakan yang rupanya belum cukup populer yaitu relaksasi beragama.
Secara singkat, gerakan ini mengajak kita untuk rileks saja ketika membicarakan
agama, karena setiap unsur budaya yang kita miliki, setiap kearifan lokal yang
dipraktikan, memiliki unsur atau nilai spiritualitasnya masing-masing. Yang
kerap terjadi, ketegangan beragama disebabkan hal-hal seperti politik atau
ekonomi dan sebagainya.
Kembali
pada pertanyaan di awal alinea tulisan ini, saya tentu melihat WNI tsb sedang
menjadi dirinya sendiri yang sedang mencoba mencairkan suasana dalam percakapan
santai di meja makan. Mungkin memang secara tidak sadar, ada misi dakwah untuk
memperkenalkan Islam, tapi sependek penglihatan saya yang berada bersama dalam
percakapan tersebut, tidak ada usaha lebih lanjut yang dilakukannya.
Mungkin
di sinilah situasi awkward itu terjadi. Guyonan WNI muslimah itu tidak
dimengerti oleh WNA non-Islam tersebut. Si WNA menunjukan raut wajah yang
kebingungan tapi masih berusaha mengerti konteks itu karena melihat orang-orang
lain di meja itu juga tertawa. Asumsinya adalah itu sebuah candaan, tapi karena
hanya dia yang tidak mengerti guyonan itu, sepertinya dia merasa terzalimi.
Memang
sulit mencegah orang lain untuk memiliki dan merasakan perasaan apapun. Namun
jika diizinkan menjelaskan situasinya, saya akan dengan terbuka untuk mengajak
si WNI agar lebih selow dengan candaan-candaan dengan konteks spesifik (inside
jokes) ketika ngobrol dengan WNA. Juga, saya akan dengan telaten memberi
pengertian kepada si WNA agar memandang ini sebagai prosesnya dalam berkenalan
dengan kearifan lokal guyonan orang Indonesia. Karena, mengutip perkataan
Presiden Republik Indonesia ke 4, Bapak Abdurrahman Wahid, “Peran agama
sesungguhnya membuat orang sadar akan fakta bahwa dirinya bagian dari umat
manusia dan alam semesta.”
Jumah berkah.
No comments:
Post a Comment