Friday, October 11, 2024

Asyhadu an laa

Disclaimer: Tulisan ini murni dari refleksi dan perasaan saya pribadi yang didasarkan atas pengetahuan saya yang terbatas dalam banyak hal.

Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik saya pagi ini, “Apa pendapatmu tentang situasi awkward kemarin saat seorang WNI muslimah yang mengajak WNA non-Muslim mengucapkan kalimat syahadat ‘Asyhadu an laa…’ ?

Sontak saya tersenyum kaget dan merespon, “Dia cuma lagi jadi orang Indonesia yang suka guyon aja kok.”

Sebelum lanjut dengan alasan saya menjawab seperti itu, silakan simak cuplikan dialog dari film komedi ini yang semoga bisa menjadi pembuka yang hangat untuk tulisan ini:

Tangkapan layar dari akun instagram @relaxitsjustreligion

KLIK DI SINI untuk mengarah ke postingan akun instagram.

Kalimat-kalimat berbahasa Arab itu tentu saja mengandung arti yang baik. Bahkan diucapkan dengan maksud baik dan dalam dalam konteks yang tepat pula. Dalam alam bawah sadar kita, kosakata Bahasa Arab biasanya hanya diucapkan oleh pemeluk agama Islam. Namun jika kalimat tersebut diucapkan oleh bukan pemeluk Islam, apakah mengurangi maknanya? Atau terdengar tidak serius? Atau bagaimana?

Refleksi pribadi ini juga bukan dalam rangka mereduksi prosesi seremonial dari agama tertentu dan menganggapnya sebagai sebuah lelucon. Saya hanya mulai menyetujui sebuah gerakan yang rupanya belum cukup populer yaitu relaksasi beragama. Secara singkat, gerakan ini mengajak kita untuk rileks saja ketika membicarakan agama, karena setiap unsur budaya yang kita miliki, setiap kearifan lokal yang dipraktikan, memiliki unsur atau nilai spiritualitasnya masing-masing. Yang kerap terjadi, ketegangan beragama disebabkan hal-hal seperti politik atau ekonomi dan sebagainya.

Kembali pada pertanyaan di awal alinea tulisan ini, saya tentu melihat WNI tsb sedang menjadi dirinya sendiri yang sedang mencoba mencairkan suasana dalam percakapan santai di meja makan. Mungkin memang secara tidak sadar, ada misi dakwah untuk memperkenalkan Islam, tapi sependek penglihatan saya yang berada bersama dalam percakapan tersebut, tidak ada usaha lebih lanjut yang dilakukannya.

Mungkin di sinilah situasi awkward itu terjadi. Guyonan WNI muslimah itu tidak dimengerti oleh WNA non-Islam tersebut. Si WNA menunjukan raut wajah yang kebingungan tapi masih berusaha mengerti konteks itu karena melihat orang-orang lain di meja itu juga tertawa. Asumsinya adalah itu sebuah candaan, tapi karena hanya dia yang tidak mengerti guyonan itu, sepertinya dia merasa terzalimi.

Memang sulit mencegah orang lain untuk memiliki dan merasakan perasaan apapun. Namun jika diizinkan menjelaskan situasinya, saya akan dengan terbuka untuk mengajak si WNI agar lebih selow dengan candaan-candaan dengan konteks spesifik (inside jokes) ketika ngobrol dengan WNA. Juga, saya akan dengan telaten memberi pengertian kepada si WNA agar memandang ini sebagai prosesnya dalam berkenalan dengan kearifan lokal guyonan orang Indonesia. Karena, mengutip perkataan Presiden Republik Indonesia ke 4, Bapak Abdurrahman Wahid, “Peran agama sesungguhnya membuat orang sadar akan fakta bahwa dirinya bagian dari umat manusia dan alam semesta.”

 

Jumah berkah.

No comments:

Post a Comment