Beberapa
hari belakangan ini, ramai menjadi bahasan media
sosial
tentang anak tukang becak yang menjadi lulusan terbaik sebuah universitas
terbaik di sebuah kota besar di Jawa Tengah. Tulisan yang saya baca di beberapa
situs berita nasional malah ulasannya mirip-mirip. Jadi saya nggak tahu, siapa
duluan yg memposting tulisan tentang kisah anak tukang becak dari Kendal, Jawa
Tengah itu. Jadi saudara-saurada, mari saya perkenalkan sang anak tukang becak
itu : namanya Raeni.
Sumber gambar : unnes.ac.id |
Dikisahkan,
pada hari Selasa, 10 Juni 2014 lalu, ada momen tahunan yang diselenggarakan
oleh Universitas Negeri Semarang di Semarang (ya iyalahh, emang dimana
lagi??) yaitu wisuda. Diceritakan bahwa
Raeni adalah mahasiswa lulusan terbaik dalam wisuda saat itu. Dia lulus dari
Jurusan Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi dengan IPK 3.96. Yang membuat momen wisuda kali ini menjadi topik bahasan
banyak media online (termasuk di media radio nasional dan di sebuah tayangan talkshow di stasiun televisi nasional hari ini 12/06/2014,) adalah karena ada seorang wisudawati
(lengkap dengan dandanan kebaya dan toganya) memasuki kampus dan menuju gedung
perhelatan akbar itu dengan sebuah BECAK, sementara banyak dari rekan wisudawan
lain yang diantar oleh kendaraan bermotor. Dan ternyata sang tukang becak penuh
senyum sangat sumringah itu adalah AYAHNYA sendiri, Sodara-sodara!
Mungkiiiinnn...
ini mungkin menurut saya lho ya... Mungkin ini adalah skenario/ide pribadi yang di-support
oleh pihak kampus (baca : ide untuk memasuki area kampus dengan menggunakan
becak). Saya sih agak sedikit mengernyitkan kening ketika membaca bagian ".... Memasuki area kampus dengan becak,
dan disambut oleh rektor.. bla bla bla...."
Tapiiii..
bukan itu kok yang bikin saya tertampar. Bukan karena saya tidak pernah
menjadi lulusan terbaik kampus saya, atau karena IPK saya hanya 3,54 ketika
diwisuda :p
Wisuda UPN Veteran Yogyakarta - 2009 |
Merasa
tertampar karena saya pernah mendapat kisah di salah satu bagian hidup saya
yang sangat berbalik dengan kejadian Raeni ini.
Begini
kisah singkatnya...
Saya
mengenal seorang pria, sebut saja namanya Bruno. Waktu itu kami masih sama-sama
kuliah di Jogja. Beda usia, beda angkatan, beda kampus, dan beda tabiat tentu
saja. Kuliahnya memang tersendat. Saat itu ia tengah menyelesaikan studi S1 di
Jurusan Management Fakultas Ekonomi di salah satu kampus swasta di daerah
Mrican (yang ngaku mahasiswa Jogja, pasti ngeh sama kampus yang saya maksud :p
). Entah kurang motivasi, entah kehilangan gairah, entah apa yang menyebabkan
ketersendatan itu, tapi yang saya lihat, dia menyelesakan studi S1-nya dalam
waktu 6 (enam) tahun dengan IPK 2, sekian.
Tibalah
saatnya untuk melaksanakan wisuda di tahun 2013
kemarin.
Waktu proses itu, saya tidak begitu menyimak perjalanan akhir masa kuliahnya.
Setelah proses wisuda, berceritalah dia tentang beberapa hal kecil dalam
persiapan wisudanya.
Ayahnya
si Bruno ini seorang pensiunan yang tinggal di sebuah kota berkembang di Jawa
Barat. Yaaa, bukan termasuk golongan orang super tajir, tapi juga tidak
termasuk kalangan di bawah garis kemiskinan. Bruno bercerita kepada saya bahwa
waktu itu ayahnya berencana datang ke Jogja untuk naik jasa transportasi umum travel saja. Artinya tanpa membawa mobil
keluarga. Si ayah bilang, yaa biar simple saja karena mereka hanya datang
bertiga (si ayah, sang mamah, dan salah satu adik Bruno). Toh kakak tertua
Bruno tidak bisa hadir ke acara wisuda, dan adiknya yang lain juga sedang kuliah
di Jogja. Mungkin kalau menyetir antarkota, si ayah sudah mulai lelah atau
apalah. Mungkin lho yaaa…
Seperti
biasa, saya lebih banyak menjadi pendengar. Lalu si Bruno melanjutkan cerita
dengan agak sedikit menaikan suara,
dia bilang ke ayahnya
jika beliau tidak datang ke Jogja menggunakan mobil keluarga, mending
tidak usah datang sekalian.
GLEK!
“Kalo
nggak bawa mobil, nggak usah datang sekalian!”
“Kalo nggak bawa mobil, nggak usah
datang sekalian!”
“Kalo nggak bawa
mobil, nggak usah datang sekalian!”
Kalimat itu mengiang terus di telinga saya sampai membuat
sakit. Sakit kepala dan sakit hati di saat bersamaan!
Anak macam apa itu? Kehadiran orang tua AKAN diterima JIKA ada
tambahan aksesoris (mobil dll dll). Lalu, kalau orang tuanya bangkrut, jatuh
miskin, terlilit hutang, atau hal buruk lainnya yang menyangkut finansial dan
materi, apa akan langsung tidak diaku orang tua?! Arrgghhh… Saya gemas sekali
mendengar cerita tentang Bruno dan ayahnya tadi. Kok ya kayaknya ini kisah mirip-malin-kundang versi moderen ya?? Tapi
bukan hak saya untuk menghakimi bahwa si Bruno durhaka atau semacamnya. Saya cuman,
yaaa…. Miris aja mendengar kisah itu.
Di satu sisi, dari pemberitaan media massa saya melihat sosok
Raeni yang bangga diantar becak oleh ayahnya ketika wisuda. Tapi di sisi lain,
dari cerita nyata di dekat saya, saya melihat sosok Bruno yang malu jika
ayahnya tidak datang menggunakan mobil dalam upacara wisudanya.
Saya hanya bisa berdoa untuk Bruno yang saya kenal, dan Bruno
Bruno yang lain yang tidak saya kenal, semoga mereka tetap menerima ayah mereka
walau sang ayah sudah tidak lagi memiliki kendaraan keluarga (dan hal prestige materi
yang lain).
Salam,
WiRani
Salam,
WiRani
No comments:
Post a Comment