Maksud
hati ingin berfoto selfie. Jadi mulai bercermin di ruang pribadi dan
melihat dari angle favorit. Sebal
melihat si jerawat yang terus meradang, tapi tetap mengagumi lengkung alami si
alis cantik.
September 2014 lalu,
saya menyempatkan diri untuk kembali mengunjungi Yogyakarta. Karena tidak
terburu waktu dan ingin menikmati perjalanan, kami (saya dan suami) memilih moda
transportasi kereta api ekonomi “Pasundan”. Rasanya exciting sekali membandingkan dan melihat apa saja yang berubah sejak
menggunakan jasa kereta api 5 tahun lalu. Dari pemberitaan media massa yang
saya dengar, PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) telah berubah dan mengalami banyak
perbaikan pelayanan.
Teman perjalanan |
Tibalah di hari
keberangkatan. Di lobby stasiun,
masih jamak terlihat ketidaktertiban. Plastik bekas segel minuman, kardus
bungkus rokok, puntung rokok, para perokok, tissue, dan banyak printilan benda yang seharusnya tidak
berserakan. Lalu di tengah jubelan pengunjung yang hendak mencetak mandiri
tiketnya, hanya terdapat 1 anjungan mesin cetak tiket. Yakin cuman nyediain satu? Nggak cukup kaliii. Terdengar juga
keluhan dari beberapa pengantri yang tidak mengerti apa yang harus dilakukan
dengan bukti pesan tiket kereta yang mereka pegang. Anda juga belum tahu kalau
tiket kereta api bisa dipesan tidak hanya di loket di stasiun? Pergilah ke mini
market atau kantor pos di sekitar Anda, dan tanyakanlah pada mereka.
Begitu masuk
melewati gerbang pemeriksaan, suasana di ruang tunggu terasa lenggang. Tidak
berisik, tidak berantakan, dan tidak kotor. Oooh, ini tho maksud dan hasil dari peraturan bahwa pedagang asongan tidak
diperbolehkan lagi masuk ke stasiun? Ya, memang sangat terasa bedanya. Stasiun
jadi terlihat manis J
Inilah saatnya.
Jreng jreng.. Saya naik ke gerbong kereta, dan akan menikmati 9 jam perjalanan
dari Bandung ke Yogya. Dan Anda tahu? Keretanya jauuuh lebih baik, lebih
bersih, dan lebih tertib. Namanya tetap saja kereta kelas ekonomi; dengan kursi
3-2. Tapi di dalamnya (baik fisik dan sistem) ada banyak hal yang diperbarui.
Yang lawas diganti yang baru, yang rusak diperbaiki, yang kurang ditambahkan.
Dari fisik yang
terlihat : kipas angin digantikan pendingin ruangan. Di gerbong berkapasitas
100 orang, terdapat 6 pendingin ruangan. Jendela yang tadinya banyak retak karena
dilempari batu dan dibuka tutup manual, sekarang sudah diganti jendela
permanen. Toiletnya (walaupun masih agak bau pesing) sudah dilengkapi dengan
tissue toilet, sabun cair di westafel, dan air dari kran sudah mengalir dengan
lancar.
Dari sistem yang terasa
: jam keberangkatan dan tiba, tepat sesuai seperti yang tercetak dalam karcis. Para
pramugarinya berganti dengan wajah muda dan segar dan berpakaian rapi warna
biru dengan motif batik. Lima tahun lalu sih
isinya pria tengah baya dengan baju biru lusuh. Kalau dulu tukang bebersih
gerbong adalah pengamen bersapu dan minta uang paksa ke penumpang, kali ini ada
2 petugas kebersihan berseragam dengan bordir OTC – on the way cleaning, rutin sekitar 3 jam sekali berjalan untuk
menyapu gerbong serta membawa kantung sampah. Beberapa kali saya mendapati
masih ada sampah tertinggal. Tapi ini bukan kelalaian si petugas OTC. Ceceran
sampah tadi sengaja ditinggalkan oleh orang dengan mental ndeso. Iya ndeso. Karena
mereka terbiasa membuang apapun di manapun. Padahal mereka ada yang berbekal gadget terkini. Ada juga yang
menggunakan aksesoris identitas tertentu. Miris ketika melihat kepemilikan
materi dan status reliji tidak diimbangi dengan kesadaran penggunaan fasilitas
publik.
Kereta Api "Pasundan" saat ini |
Sebenarnya hal-hal
sederhana tadi, bisa dilakukan dari jaman dulu kala dan oleh siapapun juga kan?
Toh itu bukan hal fenomenal yang tidak mungkin. Sejak jaman sekolah dasar, kita
dijejali dengan pengetahuan umum bahwa membuang sampah itu di tempat sampah.
Tapi kenapa ketika sudah melepaskan seragam sekolah, kita malah membuang sampah
di lobby stasiun? Kenapa?
Pak Ignasius Jonan
(Dirut PT KAI saat ini) mungkin juga banyak yang musuhin karena “nabrak”
sana-sini yang rusak. Tapi kalau index kepuasan konsumen meningkat buanyaaak,
kan artinya gebrakannya berhasil. Sekitar 5-10 tahun lalu KAI juga bobrok
dimana-mana. Layanannya payah, gerbong rusak, lokomotif payah, terlambat hampir
di setiap jam keberangkatan/tiba, and the
list goes on. Tapi sekarang? Berubah kok. Sekali lagi : bukan perubahan fenomenal.
Tapi yang namanya perubahan pelayanan menjadi lebih baik itu, pasti kerasa
bedanya. Kerasanya tuh di sini (sambil nunjuk . . . . . )
Lagi
menghayal (tingkat dewa) : kalau Gereja Kristen Pasundan digituin bisa nggak
ya?
Khayalan tadi
tertunda beberapa hari karena saya sedang menikmati Yogyakarta. Merasakan
cantiknya Gua Pindul dan Sungai Oya, nikmatnya kuliner bakmi godhog dan sate klathak, menghabiskan waktu
di Mirota Batik, dan mengenang masa kuliah di UPN “Veteran” Yogyakarta. Fyi :
bentar lagi mau jadi negeri tuh ;)
Lalu tibalah saatnya
kembali lagi ke Bandung. Masih menggunakan kereta ekonomi “Pasundan”, maka saya
lanjutkan khayalan tingkat dewa beberapa hari yang lalu di gerbong.
“Urip iku urup.” Itu bunyi gambar
berbingkai di salah satu tembok Mirota Batik Yogyakarta. Urip = hidup. Iku =
itu. Urup = menyala, berpijar, menerangi. Jadi, menurut Anda, apa artinya
kalimat itu?
Saya juga
menginginkan ada perubahan di GKP. Saya bukan pemikir besar, jadi tidak berani memikirkan
fundamen monumental di 58 Jemaat dan di 7 Badan Pelayanan. Misalnya menyusun strategi
pembinaan anak berbasiskan character
building, atau strategi sumber daya insani yang mengedepankan bla bla bla….
Bukan, bukan. Saya merasa kecil dan tidak berani berpikir sejauh dan sebesar
dan seluas itu.
Saya teringat sebuah
obrolan ringan dengan seorang tua. Beliau bilang kalau tidak bisa membandingkan
GKP dengan perusahan yang profit oriented. Jadi GKP tidak bisa di-apple-to-apple-kan dengan PT KAI. Lalu
gimana dong biar PT KAI juga bisa
dijadikan salah satu contoh pembelajaran tentang perbaikan kinerja? Kalau tidak
bisa apple-to-apple, mungkin duku-to-durian. Sama-sama berawalan ‘du’ kan?
Menurut saya, ritual
ibadah itu tidak sekedar rajin sembahyang dengan berbagai macam ritusnya. Walaupun
kegiatan di sekitar gereja itu bersifat sukarela, bukan berarti kerja sesuka
hati. Katanya “menjadi berkat bagi sesama”. Tapi kalau rapat saja datangnya sudah
telat, ehh.. di rapat malah tidur. Atau malah sibuk ngobrol sana-sini sambil
ribut cecuit di media sosial. Bukannya itu salah satu bentuk tidak menghargai
sesama (penghadir rapat)? Sudah bersedia memilih tanggung jawab di posisi
tertentu, tapi ketika diberi tugas, dengan sesuka hati tidak mengerjakan apapun
dengan dalih tidak sempat. Hasilnya? Ya tidak ada hasil. Karena dari pertemuan
ke pertemuan, topik yang sama selalu diulang. Lalu jenuh. Penat. Jadi pundung. Lalu menghilang dan
mengundurkan diri. Jadi, ini mana duluan yang harus dibenahi : sistem atau
mentalitas?
Lalu, beranikah saya
(baca : GKP) memperbaiki diri? Ketika saya sudah memilih dan mengambil tanggung
jawab sebagai seorang pekerja/pelayan/sukarelawan, apakah saya berani
mengevaluasi luar-dalam kinerja saya? Seperti PT KAI : yang lawas diganti yang
baru, yang rusak diperbaiki, yang kurang ditambahkan? Kalau PT KAI mengedepankan service excelent, kenapa GKP enggak
bisa? Menjadi tua bukan berarti bebas kesalahan kan? Walau masih muda, bukan
berarti tidak boleh mengingatkan kan?
Tetiba saya ingin
sekali ngobrol dengan Pak Jonan dan menanyakan beberapa hal naif.
“Pak, Bapak ngapain
aja sih buat untuk ngajak orang-orang PT KAI biar mau kerjasama memperbaiki service?” “Trus, kalo Bapak lagi kesel
sama temen Bapak yang males dan ga mau kerja, marah ga? Trus negurnya gimana?
Kan ada tuh orang yang ditegur tentang cara kerjanya, malah ngambek ga karuan
dan nyangka kalo kita benci sama dia. Padahal kan nggak gitu maksudnya.” “Bapak
hebat bangettt iih. Bisa bikin perusahaan sebesar itu dengan persoalannya
berubah jadi keren. Keren banget malah. Kayak Superman, hehe. Belom kaya
Singapura sih. Tapi kalo berbenah terus, rasanya bisa. Bisa kan Pak?” “Suka
kesel sama diri sendiri deh Pak. Tahu banget ada yang keliru dan harus
diberesin. Tapi nggak tau harus mulai dari mana dan gimana ngomongnya. Jadi marah,
campur sedih, campur kesal L ”
Celotehan bocah naif
itu dijawab dengan tenang oleh Pak Jonan, “Percayalah Nduk (bhs. Jawa : Panggilan kepada anak perempuan). Superman hanya
ada di film. Di kehidupan perusahaan/organisasi/bangsa, yang menjadikan hebat
adalah SUPERTEAM. Aku ndak punya
mimpi kok. Aku cuma ngliat realita di depanku, dan kerja. Bikin perbaikan
seperlunya sesuai kebutuhan. Hidupku nggak selama dinosaurus. Jadi nggak cukup
waktu untuk mengalami sendiri semua kesalahan dan kekeliruan. Kita tuh guru dan
murid untuk satu sama lain kok. Sadar nggak, kalo hidupmu itu juga diperhatiin
orang lho? Mereka ngliat yang kamu kerjain.”
“Tapi Pak, ….”
Saya tidak
melanjutkan percakapan tadi karena samar-samar mendengar penjelasan dari
seorang pramugara, bahwa seluruh penumpang kereta ‘Pasundan’ jurusan
Yogyakarta-Bandung tanggal 25 September 2014 harus menunggu selama kurang lebih
2,5 jam karena lokomotif kereta rusak dan harus menunggu lokomotif pengganti
dari stasiun terdekat. Dhuarrr….. Dan hilanglah lamunan saya beserta percakapan
imajinatif saya dan Pak Jonan. Hahaha.. Seluruh lamunan saya sekarang berganti
dengan perasaan gelisah yang nyata.
Ternyata memang
masih harus banyak belajar. PT KAI. GKP. Saya juga.
No comments:
Post a Comment