Pengertian
sederhana dari social entreprenership
adalah mengerti permasalahan sosial di masyarakat dan melihatnya sebagai
peluang untuk melakukan perubahan sosial dengan menggunakan kemampuan
kewirausahaan.
Memiliki
penghasilan rutin tentu menjadi kebutuhan manusia untuk memenuhi keperluan
hidupnya. Tapi tidak dapat dipungkiri
bahwa setiap manusia juga memiliki hati nurani yang dapat ‘tersentuh’ untuk
tidak melulu menomorsatukan materi
dan mendahulukan hal-hal yang bersifat sukarela atau tanpa imbalan. Memberikan
nasi kotak dari rapat kantor kepada pemulung atau tukang sampah yang ditemui di
jalan, menghadiahi alat tulis untuk anak warga jemaat/gereja yang berada dalam
kondisi pra sejahtera, memberikan pelajaran matematika tambahan kepada
anak-anak di sekitar rumah, atau kalau di kota Bandung, ada seorang Bapak sepuh
yang dengan sukarela setiap hari berkeliling kota Bandung (sesuai dengan
kemampuan tubuhnya, tentu saja) untuk mencopoti paku di pohon yang dipasang
untuk menempelkan iklan dan membersihkan sampah yang dijumpai[1].
Biasanya
sikap sukarela ini lahir karena si pelaku mengerjakan (atau dalam bahasa spiritual
sering disebut sebagai ‘panggilan’) hal-hal yang dia sukai dan memberikan
kebahagiaan bathin yang nilai kepuasannya seringkali jauh melampaui nilai materi.
Kalaupun ada materi yang didapat, tentu saja disyukuri sebagai rezeki yang
diberikan Sang Maha Pemberi.
Menyoal social entrepreunership, kali ini saya
akan secara khusus bercerita mengenai sebuah rumah belajar di kota Bandung.
Berjuluk Rumah Belajar “Embrio”, sang pendiri berniat untuk membantu anak-anak
SD untuk mengerjakan PR dari sekolah maupun berlatih soal-soal. Si pendiri ‘kebetulan’
adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang sangat menyukai matematika, dan pernah
bertahun lamanya menjadi karyawan perusahaan tekstil ternama sebagai akuntan. Kegemaran
dengan matematika itu ditularkan kepada anak semata wayang, yang sukses mengantarkan
si anak menjadi juara kompetisi-kompetisi matematika se-Bandung. Melihat
prestasi sang putra, beberapa orang tua murid lain mengajukan permintaan kepada
beliau untuk membuka les di dekat sekolah[2]. Awalnya si ibu
bergabung dengan beberapa kawan membuka rumah belajar. Dimulai dengan hanya 1
orang murid saja pada waktu itu. Seiring dengan promosi dan prestasi, maka
semakin banyaklah anak murid yang mendaftar dan bergabung. Namun seiring waktu
juga, rupanya ada kesalahpahaman dari si Ibu dengan para rekan di rumah belajar
tersebut. Lalu dengan niat ikhlas si ibu mengundurkan diri, dan mulai merintis
Rumah Belajar “Embrio”. Sendirian. Dengan bantuan sahabat dan donatur,
dimulailah perjalanan kisah Rumah Belajar “Embrio”.
Bersambung ke Bagian 2 di sini
[1]
Sariban. Namanya disebut oleh Ridwan Kamil, Walikota Bandung, ketika menerima
anugerah Adipura tahun 2015 yang diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup
Indonesia sebagai penghargaan atas pencapaian kebersihan kota. Sariban adalah
salah satu sosok yang diharapkan dapat menginspirasi warga Bandung lainnya
untuk tetap menjaga kebersihan kota. Tidak ada yang menggaji Sariban. Tapi dia
melakukan atas dasar kesadaran bahwa bumi ini ciptaan Yang Maha Kuasa yang
harus dijaga kelestariannya. Sesederhana itu.
[2]
Saat itu si anak bersekolah di salah satu sekolah dasar katolik yang berada di
daerah Bandung Timur.
No comments:
Post a Comment