Main lego sebelum mulai belajar |
Saya
bergabung dengan Rumah Belajar “Embrio” pada Juli 2015 lalu. Selain tentang
pelajaran Sekolah Dasar, ada hal lain yang saya lihat di sini. Ternyata cukup
banyak anak murid yang sengaja dileskan bukan karena kemampuan akademiknya
kurang. Tapi karena supaya tidak keluyuran
dari sekolah sebelum dijemput orangtuanya. Fenomena yang banyak dijumpai saat
ini adalah banyak orang tua (suami dan istri) sama-sama bekerja, sehingga
seringkali melewatkan jam belajar di rumah bersama anak-anak mereka. Karena
merasa kewalahan dengan energi dan waktu yang tersita di kantor dan pekerjaan
masing-masing, maka rumah belajar menjadi solusi alternatif. Selain PR sudah
dikerjakan di rumah belajar, anak-anak juga akan terawasi oleh orang dewasa
yang dikenal oleh orang tua.
Di satu sisi
saya miris melihat fenomena orang tua masa kini yang terlihat seperti abai untuk
mendampingi tumbuh-kembang putra-putri mereka. Para orang tua kebanyakan lebih
memilihkan kegiatan ekstrakurikuler maupun bermacam-macam les untuk mengisi
waktu anak-anak mereka. Si anak sedari subuh sudah harus siap ke sekolah. Di
sekolah sampai sekitar jam 12.00. Sepulang sekolah harus menuju ke rumah
belajar. Setelah itu masih harus menunggu dijemput orangtuanya. Jadi, “Embrio”
ini bukan sekedar rumah belajar saja, tapi juga merangkap ‘menyediakan jasa’
penitipan anak J
Di luar
perasaan miris tersebut, tentu saya merasakan banyak manfaat dan pelajaran dari
keberadaan “Embrio”. Jika lembaga bimbingan belajar lainnya setelah selesai
kelas, si murid harus segera keluar dari kelas. Di “Embrio”, setelah selesai
mengerjakan PR, murid masih bisa bercengkerama dengan pengajar. Di lembaga
bimbingan belajar lain jika kelas sudah bubar, maka yang terlambat dianggap
membolos. Di “Embrio”, jika si murid harus mengikuti kegiatan tambahan di
sekolah yang menyebabkan keterlambatan belajar di “Embrio”, masih diperbolehkan
masuk ruangan dan mengerjakan PR dengan tetap didampingi pengajar. Di lembaga
bimbingan belajar lain, agak sulit membiarkan anak duduk leyeh-leyeh karena kelelahan saat belajar. Di “Embrio”, beberapa
kali ada murid yang tertidur a
tau sekedar berbaring di lantai karpet setelah ‘ngambek’ karena sedang bad mood dan lelah. Selama dalam posisi tenang, teman-teman lainnya tetap bisa belajar seperti biasa. Yang tertidur? Ya dibiarkan saja. Namanya juga capek.
tau sekedar berbaring di lantai karpet setelah ‘ngambek’ karena sedang bad mood dan lelah. Selama dalam posisi tenang, teman-teman lainnya tetap bisa belajar seperti biasa. Yang tertidur? Ya dibiarkan saja. Namanya juga capek.
Membantu mengeringkan genangan air |
Memang pada
mulanya “Embrio” dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup si pendiri. Dengan
bekal kesukaannya atas dunia anak-anak dan matematika, “Embrio” terus
bertumbuh. Sampai saat ini tercatat ada 23 peserta belajar dengan 2 pengajar.
Ada harapan ke depan bahwa “Embrio” tidak lagi dikerjakan secara personal,
berdua, atau bertiga saja. Namun bisa menjadi bagian dari program pelayanan
gereja yang memberdayakan warganya. Diakonia yang kebanyakan dilaksanakan oleh
gereja baru ‘sekedar’ memberikan bantuan sembako, biaya pendidikan, atau
keringanan biaya berobat. Banyak gereja memilih bidang pertanian, peternakan,
atau kerajinan tangan sebagai alternatif untuk pengembangan diakonia transformatif. Tapi
belum banyak yang menunjukan kemajuan signifikan. Ya, beberapa ada yang
berhasil membangun komunitas produktif. Tapi banyak juga yang hilang kabar
beritanya.
Ketika
gereja, secara lembaga, mengusung tema “Menjadi Berkat bagi Sesama” maka
semestinya direalisasikan bukan ‘hanya’ di dalam gedung gereja. Tapi
sungguh-sungguh memikirkan strategi pengembangan untuk menjangkau keluar tembok
gereja. Tentu saja dimulai dan digerakan oleh warganya sendiri. Bidang pendidikan
bisa menjadi salah satu alternatif yang digarap gereja untuk memulai gerakan
diakonia transformatif sekaligus ikut berperan serta dalam meningkatkan
kualitas generasi penerus bangsa.
“Embrio”
memiliki rencana ke depan untuk menerima lebih banyak peserta belajar dan membuka
cabang rumah belajar, serta membuka kelas pra sekolah dasar. Ketika ide dan
program ini direspon oleh gereja, ada harapan bahwa program ini akan lebih
banyak menjangkau warga jemaat dari berbagai rentang usia dan latar belakang (misalnya
: melibatkan pemuda gereja yang belum mendapatkan pekerjaan, memberikan wahana
pelatihan dan atau pilihan ladang pelayanan bagi mahasiswa/siswa, bahkan
menjadi pilihan bagi orang-orang yang tidak bisa menyanyi atau bermain musik :D
).
Dalam sebuah
percakapan dengan beberapa warga Jemaat di daerah lain, ternyata di sana juga
mulai dikembangkan kursus atau kelas tambahan belajar bagi anak-anak warga
Jemaat dengan biaya per bulan yang sangat terjangkau. Karena penyelenggaraan
kursus ini bukan bertujuan utama untuk menghasilkan profit, maka fungsi iuran
bulanan berperan sebagai ‘pengikat’ atau komitmen antara peserta belajar dan
pengajar. Melihat hal tersebut, tentu bukan sesuatu yang mustahil jika gereja –
di manapun berada – juga mulai memfasilitasi gerakan-gerakan serupa. Iya betul,
banyak gereja yang memiliki Yayasan berbadan hukum yang bergerak di Bidang
Pendidikan. Tapi akan selalu ada anak-anak yang memerlukan tambahan dukungan
pendidikan, dan akan selalu ada orang dewasa yang juga memerlukan ruang
aktualisasi diri, serta untuk mencari penghasilan tambahan.**
No comments:
Post a Comment