Tuesday, October 7, 2014

GKP dan PT KAI – bukan apple to apple

Maksud hati ingin berfoto selfie. Jadi mulai bercermin di ruang pribadi dan melihat dari angle favorit. Sebal melihat si jerawat yang terus meradang, tapi tetap mengagumi lengkung alami si alis cantik.

September 2014 lalu, saya menyempatkan diri untuk kembali mengunjungi Yogyakarta. Karena tidak terburu waktu dan ingin menikmati perjalanan, kami (saya dan suami) memilih moda transportasi kereta api ekonomi “Pasundan”. Rasanya exciting sekali membandingkan dan melihat apa saja yang berubah sejak menggunakan jasa kereta api 5 tahun lalu. Dari pemberitaan media massa yang saya dengar, PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) telah berubah dan mengalami banyak perbaikan pelayanan.

Teman perjalanan
Tibalah di hari keberangkatan. Di lobby stasiun, masih jamak terlihat ketidaktertiban. Plastik bekas segel minuman, kardus bungkus rokok, puntung rokok, para perokok, tissue, dan banyak printilan benda yang seharusnya tidak berserakan. Lalu di tengah jubelan pengunjung yang hendak mencetak mandiri tiketnya, hanya terdapat 1 anjungan mesin cetak tiket. Yakin cuman nyediain satu? Nggak cukup kaliii. Terdengar juga keluhan dari beberapa pengantri yang tidak mengerti apa yang harus dilakukan dengan bukti pesan tiket kereta yang mereka pegang. Anda juga belum tahu kalau tiket kereta api bisa dipesan tidak hanya di loket di stasiun? Pergilah ke mini market atau kantor pos di sekitar Anda, dan tanyakanlah pada mereka.

Begitu masuk melewati gerbang pemeriksaan, suasana di ruang tunggu terasa lenggang. Tidak berisik, tidak berantakan, dan tidak kotor. Oooh, ini tho maksud dan hasil dari peraturan bahwa pedagang asongan tidak diperbolehkan lagi masuk ke stasiun? Ya, memang sangat terasa bedanya. Stasiun jadi terlihat manis J

Inilah saatnya. Jreng jreng.. Saya naik ke gerbong kereta, dan akan menikmati 9 jam perjalanan dari Bandung ke Yogya. Dan Anda tahu? Keretanya jauuuh lebih baik, lebih bersih, dan lebih tertib. Namanya tetap saja kereta kelas ekonomi; dengan kursi 3-2. Tapi di dalamnya (baik fisik dan sistem) ada banyak hal yang diperbarui. Yang lawas diganti yang baru, yang rusak diperbaiki, yang kurang ditambahkan.

Dari fisik yang terlihat : kipas angin digantikan pendingin ruangan. Di gerbong berkapasitas 100 orang, terdapat 6 pendingin ruangan. Jendela yang tadinya banyak retak karena dilempari batu dan dibuka tutup manual, sekarang sudah diganti jendela permanen. Toiletnya (walaupun masih agak bau pesing) sudah dilengkapi dengan tissue toilet, sabun cair di westafel, dan air dari kran sudah mengalir dengan lancar.

Dari sistem yang terasa : jam keberangkatan dan tiba, tepat sesuai seperti yang tercetak dalam karcis. Para pramugarinya berganti dengan wajah muda dan segar dan berpakaian rapi warna biru dengan motif batik. Lima tahun lalu sih isinya pria tengah baya dengan baju biru lusuh. Kalau dulu tukang bebersih gerbong adalah pengamen bersapu dan minta uang paksa ke penumpang, kali ini ada 2 petugas kebersihan berseragam dengan bordir OTC – on the way cleaning, rutin sekitar 3 jam sekali berjalan untuk menyapu gerbong serta membawa kantung sampah. Beberapa kali saya mendapati masih ada sampah tertinggal. Tapi ini bukan kelalaian si petugas OTC. Ceceran sampah tadi sengaja ditinggalkan oleh orang dengan mental ndeso. Iya ndeso. Karena mereka terbiasa membuang apapun di manapun. Padahal mereka ada yang berbekal gadget terkini. Ada juga yang menggunakan aksesoris identitas tertentu. Miris ketika melihat kepemilikan materi dan status reliji tidak diimbangi dengan kesadaran penggunaan fasilitas publik.

Kereta Api "Pasundan" saat ini
Sebenarnya hal-hal sederhana tadi, bisa dilakukan dari jaman dulu kala dan oleh siapapun juga kan? Toh itu bukan hal fenomenal yang tidak mungkin. Sejak jaman sekolah dasar, kita dijejali dengan pengetahuan umum bahwa membuang sampah itu di tempat sampah. Tapi kenapa ketika sudah melepaskan seragam sekolah, kita malah membuang sampah di lobby stasiun? Kenapa?

Pak Ignasius Jonan (Dirut PT KAI saat ini) mungkin juga banyak yang musuhin karena “nabrak” sana-sini yang rusak. Tapi kalau index kepuasan konsumen meningkat buanyaaak, kan artinya gebrakannya berhasil. Sekitar 5-10 tahun lalu KAI juga bobrok dimana-mana. Layanannya payah, gerbong rusak, lokomotif payah, terlambat hampir di setiap jam keberangkatan/tiba, and the list goes on. Tapi sekarang? Berubah kok. Sekali lagi : bukan perubahan fenomenal. Tapi yang namanya perubahan pelayanan menjadi lebih baik itu, pasti kerasa bedanya. Kerasanya tuh di sini (sambil nunjuk . . . . . )

Lagi menghayal (tingkat dewa) : kalau Gereja Kristen Pasundan digituin bisa nggak ya?
Khayalan tadi tertunda beberapa hari karena saya sedang menikmati Yogyakarta. Merasakan cantiknya Gua Pindul dan Sungai Oya, nikmatnya kuliner bakmi godhog dan sate klathak, menghabiskan waktu di Mirota Batik, dan mengenang masa kuliah di UPN “Veteran” Yogyakarta. Fyi : bentar lagi mau jadi negeri tuh ;)

Lalu tibalah saatnya kembali lagi ke Bandung. Masih menggunakan kereta ekonomi “Pasundan”, maka saya lanjutkan khayalan tingkat dewa beberapa hari yang lalu di gerbong.

Urip iku urup.” Itu bunyi gambar berbingkai di salah satu tembok Mirota Batik Yogyakarta. Urip = hidup. Iku = itu. Urup = menyala, berpijar, menerangi. Jadi, menurut Anda, apa artinya kalimat itu?

Saya juga menginginkan ada perubahan di GKP. Saya bukan pemikir besar, jadi tidak berani memikirkan fundamen monumental di 58 Jemaat dan di 7 Badan Pelayanan. Misalnya menyusun strategi pembinaan anak berbasiskan character building, atau strategi sumber daya insani yang mengedepankan bla bla bla…. Bukan, bukan. Saya merasa kecil dan tidak berani berpikir sejauh dan sebesar dan seluas itu.

Saya teringat sebuah obrolan ringan dengan seorang tua. Beliau bilang kalau tidak bisa membandingkan GKP dengan  perusahan yang profit oriented. Jadi GKP tidak bisa di-apple-to-apple-kan dengan PT KAI. Lalu gimana dong biar PT KAI juga bisa dijadikan salah satu contoh pembelajaran tentang perbaikan kinerja? Kalau tidak bisa apple-to-apple, mungkin duku-to-durian. Sama-sama berawalan ‘du’ kan?

Menurut saya, ritual ibadah itu tidak sekedar rajin sembahyang dengan berbagai macam ritusnya. Walaupun kegiatan di sekitar gereja itu bersifat sukarela, bukan berarti kerja sesuka hati. Katanya “menjadi berkat bagi sesama”. Tapi kalau rapat saja datangnya sudah telat, ehh.. di rapat malah tidur. Atau malah sibuk ngobrol sana-sini sambil ribut cecuit di media sosial. Bukannya itu salah satu bentuk tidak menghargai sesama (penghadir rapat)? Sudah bersedia memilih tanggung jawab di posisi tertentu, tapi ketika diberi tugas, dengan sesuka hati tidak mengerjakan apapun dengan dalih tidak sempat. Hasilnya? Ya tidak ada hasil. Karena dari pertemuan ke pertemuan, topik yang sama selalu diulang. Lalu jenuh. Penat. Jadi pundung. Lalu menghilang dan mengundurkan diri. Jadi, ini mana duluan yang harus dibenahi : sistem atau mentalitas?

Lalu, beranikah saya (baca : GKP) memperbaiki diri? Ketika saya sudah memilih dan mengambil tanggung jawab sebagai seorang pekerja/pelayan/sukarelawan, apakah saya berani mengevaluasi luar-dalam kinerja saya? Seperti PT KAI : yang lawas diganti yang baru, yang rusak diperbaiki, yang kurang ditambahkan? Kalau PT KAI mengedepankan service excelent, kenapa GKP enggak bisa? Menjadi tua bukan berarti bebas kesalahan kan? Walau masih muda, bukan berarti tidak boleh mengingatkan kan?

Tetiba saya ingin sekali ngobrol dengan Pak Jonan dan menanyakan beberapa hal naif.

“Pak, Bapak ngapain aja sih buat untuk ngajak orang-orang PT KAI biar mau kerjasama memperbaiki service?” “Trus, kalo Bapak lagi kesel sama temen Bapak yang males dan ga mau kerja, marah ga? Trus negurnya gimana? Kan ada tuh orang yang ditegur tentang cara kerjanya, malah ngambek ga karuan dan nyangka kalo kita benci sama dia. Padahal kan nggak gitu maksudnya.” “Bapak hebat bangettt iih. Bisa bikin perusahaan sebesar itu dengan persoalannya berubah jadi keren. Keren banget malah. Kayak Superman, hehe. Belom kaya Singapura sih. Tapi kalo berbenah terus, rasanya bisa. Bisa kan Pak?” “Suka kesel sama diri sendiri deh Pak. Tahu banget ada yang keliru dan harus diberesin. Tapi nggak tau harus mulai dari mana dan gimana ngomongnya. Jadi marah, campur sedih, campur kesal L

Celotehan bocah naif itu dijawab dengan tenang oleh Pak Jonan, “Percayalah Nduk (bhs. Jawa : Panggilan kepada anak perempuan). Superman hanya ada di film. Di kehidupan perusahaan/organisasi/bangsa, yang menjadikan hebat adalah SUPERTEAM. Aku ndak punya mimpi kok. Aku cuma ngliat realita di depanku, dan kerja. Bikin perbaikan seperlunya sesuai kebutuhan. Hidupku nggak selama dinosaurus. Jadi nggak cukup waktu untuk mengalami sendiri semua kesalahan dan kekeliruan. Kita tuh guru dan murid untuk satu sama lain kok. Sadar nggak, kalo hidupmu itu juga diperhatiin orang lho? Mereka ngliat yang kamu kerjain.”

“Tapi Pak, ….”
Komplimen keterlambatan dari PT KAI

Saya tidak melanjutkan percakapan tadi karena samar-samar mendengar penjelasan dari seorang pramugara, bahwa seluruh penumpang kereta ‘Pasundan’ jurusan Yogyakarta-Bandung tanggal 25 September 2014 harus menunggu selama kurang lebih 2,5 jam karena lokomotif kereta rusak dan harus menunggu lokomotif pengganti dari stasiun terdekat. Dhuarrr….. Dan hilanglah lamunan saya beserta percakapan imajinatif saya dan Pak Jonan. Hahaha.. Seluruh lamunan saya sekarang berganti dengan perasaan gelisah yang nyata.


Ternyata memang masih harus banyak belajar. PT KAI. GKP. Saya juga.

Friday, September 12, 2014

Alam Yang Merancangkannya Untukku

Dua belas September 2014 ini sepertinya spesial tidak hanya untuk dia, tapi juga untuk aku.
Fave-nya dia yg kotak coklat di kanan atas
Betul, hari ini tepat dia berusia 31 tahun sebagai seorang manusia.

Pikiranku melanglangbuana ke alam imajiner ketika menyiapkan nasi kuning untuk sarapan spesial kami pagi ini. Spesial karena ada lilinnya :D Kalo nasi kuningnya sih tetap nasi kuning made in ibu penjual di dekat komplek rumah, heee...

Pikiranku melanglang buana ke percakapan kami beberapa hari sebelumnya :
A : Besok mau hadiah apa? Parfum favorit?
B : Parfum lagi....
A : Mau apa atuh?
B : Kalo (Samsung) Grand gimana? *pasang muka lucu.
A : Kok itu? Kan ga perlu tho. Orang masih ada (Nokia) Lumia. *mulai negosiasi.
B : Uhm.. Kalo gitu isiin pulsa normal & pulsa internet terus? Eh, jangan ding. Hmm.. Hadiahnya : kamu bisa pulang kantor cepet setiap hari. Nggak pulang malem terus. Itu udah jadi pengganti hadiah sepanjang tahun.

A : *speechless. Mbrebes mili, miris, pedih, sambil keukeuh bungkus kado parfum. Nancepnya tuh di sini 


Lalu, pikiranku juga melayang ke bagian tentang para mertua; ya mertuaku dan mertua dia.
Mertuaku itu masih dinas di Kabupaten Cianjur, dan bisa jadi ada hari-hari tertentu yang tidak bisa diganggu jadwalnya. Tapi kok ya lha ndalah beliau mau dan bersedia dimintai tolong untuk membelikan beberapa kotak bolu ketan hitam favorit dia. Mintanya 4, dibelikan 6. Yeaayyy.... Nggak cuman beli. Tapi beliau juga mau nitipin ke bis jurusan ke Bandung supaya bisa kami terima dihari yang sama. Yeaayy dua kali ^_^
*lagi mikir, alam yang bekerja dan merancangkan dan membantu aku..


Mencintaimu dengan sederhana :-*
Lalu beralih ke mertua dia. Sang Mertua memang sudah waktunya pergi ke Bandung untuk mengurusi suatu hal. Beberapa hari yang lalu bilangnya mau datang hari Rabu. Tapi kok ya lha ndalah datangnya malah hari Kamis sore dan memutuskan menginap. Bangun subuh di keesokan harinya, justru sang mertualah yang pertama kali memberikan peluk selamat bertambah usia. Fiuhh...

*mikir lagi, alam yang membantu aku untuk selalu belajar bersyukur untuk setiap kehadiran manusia lain di hidupku.


My birthday man

Dan, karena alam sudah merancangkannya untukku, aku hanya perlu menyambut dan meresponnya dengan sukacita dan penuh kelapangan hati. Lalu kususunlah sebuah sarapan sederhana untuk kami berdua : bolu ketan hitam, kotak hadiah, nasi kuning dengan modifikasi bentuk a la aku, dan tiga lilin utama plus 1 lilin kecil warna merah jambu di nampan nasi kuningnya.

Inilah duabelas september duaribu empatbelas. Aku dan dia dalam keheningan berdua, mengucap syukur, dan mencinta.


*DIA yang ku ceritakan di atas adalah pria yang aku nikahi 3 tahun lalu :)

*Oia Suami, karena permintaanmu supaya aku nggak pulang malam, ayooo 2 minggu ke depan kita pergi ke tempat asing. Cuman kita deehh.. Jadi kalo pulang malem, ya pulang sama-sama. Lha wong perginya sama-sama :D

Friday, June 13, 2014

dan Raeni-pun menampar saya....



Beberapa hari belakangan ini, ramai menjadi bahasan media sosial tentang anak tukang becak yang menjadi lulusan terbaik sebuah universitas terbaik di sebuah kota besar di Jawa Tengah. Tulisan yang saya baca di beberapa situs berita nasional malah ulasannya mirip-mirip. Jadi saya nggak tahu, siapa duluan yg memposting tulisan tentang kisah anak tukang becak dari Kendal, Jawa Tengah itu. Jadi saudara-saurada, mari saya perkenalkan sang anak tukang becak itu : namanya Raeni.

Sumber gambar : unnes.ac.id
Baik, saya cerita sedikit tentang gambar di atas ya...


Dikisahkan, pada hari Selasa, 10 Juni 2014 lalu, ada momen tahunan yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Semarang di Semarang (ya iyalahh, emang dimana lagi??) yaitu wisuda. Diceritakan bahwa Raeni adalah mahasiswa lulusan terbaik dalam wisuda saat itu. Dia lulus dari Jurusan Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi dengan IPK 3.96. Yang membuat momen wisuda kali ini menjadi topik bahasan banyak media online (termasuk di media radio nasional dan di sebuah tayangan talkshow di stasiun televisi nasional hari ini 12/06/2014,) adalah karena ada seorang wisudawati (lengkap dengan dandanan kebaya dan toganya) memasuki kampus dan menuju gedung perhelatan akbar itu dengan sebuah BECAK, sementara banyak dari rekan wisudawan lain yang diantar oleh kendaraan bermotor. Dan ternyata sang tukang becak penuh senyum sangat sumringah itu adalah AYAHNYA sendiri, Sodara-sodara!

Mungkiiiinnn... ini mungkin menurut saya lho ya... Mungkin ini adalah skenario/ide pribadi yang di-support oleh pihak kampus (baca : ide untuk memasuki area kampus dengan menggunakan becak). Saya sih agak sedikit mengernyitkan kening ketika membaca bagian ".... Memasuki area kampus dengan becak, dan disambut oleh rektor.. bla bla bla...."

Tapiiii.. bukan itu kok yang bikin saya tertampar. Bukan karena saya tidak pernah menjadi lulusan terbaik kampus saya, atau karena IPK saya hanya 3,54 ketika diwisuda :p
Wisuda UPN Veteran Yogyakarta - 2009
 Merasa tertampar karena saya pernah mendapat kisah di salah satu bagian hidup saya yang sangat berbalik dengan kejadian Raeni ini.

Begini kisah singkatnya...

Saya mengenal seorang pria, sebut saja namanya Bruno. Waktu itu kami masih sama-sama kuliah di Jogja. Beda usia, beda angkatan, beda kampus, dan beda tabiat tentu saja. Kuliahnya memang tersendat. Saat itu ia tengah menyelesaikan studi S1 di Jurusan Management Fakultas Ekonomi di salah satu kampus swasta di daerah Mrican (yang ngaku mahasiswa Jogja, pasti ngeh sama kampus yang saya maksud :p ). Entah kurang motivasi, entah kehilangan gairah, entah apa yang menyebabkan ketersendatan itu, tapi yang saya lihat, dia menyelesakan studi S1-nya dalam waktu 6 (enam) tahun dengan IPK 2, sekian.

Tibalah saatnya untuk melaksanakan wisuda di tahun 2013 kemarin. Waktu proses itu, saya tidak begitu menyimak perjalanan akhir masa kuliahnya. Setelah proses wisuda, berceritalah dia tentang beberapa hal kecil dalam persiapan wisudanya.

Ayahnya si Bruno ini seorang pensiunan yang tinggal di sebuah kota berkembang di Jawa Barat. Yaaa, bukan termasuk golongan orang super tajir, tapi juga tidak termasuk kalangan di bawah garis kemiskinan. Bruno bercerita kepada saya bahwa waktu itu ayahnya berencana datang ke Jogja untuk naik jasa transportasi umum travel saja. Artinya tanpa membawa mobil keluarga. Si ayah bilang, yaa biar simple saja karena mereka hanya datang bertiga (si ayah, sang mamah, dan salah satu adik Bruno). Toh kakak tertua Bruno tidak bisa hadir ke acara wisuda, dan adiknya yang lain juga sedang kuliah di Jogja. Mungkin kalau menyetir antarkota, si ayah sudah mulai lelah atau apalah. Mungkin lho yaaa…

Seperti biasa, saya lebih banyak menjadi pendengar. Lalu si Bruno melanjutkan cerita dengan agak sedikit menaikan suara, dia bilang ke ayahnya jika beliau tidak datang ke Jogja menggunakan mobil keluarga, mending tidak usah datang sekalian.

GLEK!
“Kalo nggak bawa mobil, nggak usah datang sekalian!”
          “Kalo nggak bawa mobil, nggak usah datang sekalian!”
                        “Kalo nggak bawa mobil, nggak usah datang sekalian!”

Kalimat itu mengiang terus di telinga saya sampai membuat sakit. Sakit kepala dan sakit hati di saat bersamaan!
Anak macam apa itu? Kehadiran orang tua AKAN diterima JIKA ada tambahan aksesoris (mobil dll dll). Lalu, kalau orang tuanya bangkrut, jatuh miskin, terlilit hutang, atau hal buruk lainnya yang menyangkut finansial dan materi, apa akan langsung tidak diaku orang tua?! Arrgghhh… Saya gemas sekali mendengar cerita tentang Bruno dan ayahnya tadi. Kok ya kayaknya ini kisah mirip-malin-kundang versi moderen ya?? Tapi bukan hak saya untuk menghakimi bahwa si Bruno durhaka atau semacamnya. Saya cuman, yaaa…. Miris aja mendengar kisah itu.

Di satu sisi, dari pemberitaan media massa saya melihat sosok Raeni yang bangga diantar becak oleh ayahnya ketika wisuda. Tapi di sisi lain, dari cerita nyata di dekat saya, saya melihat sosok Bruno yang malu jika ayahnya tidak datang menggunakan mobil dalam upacara wisudanya.

Saya hanya bisa berdoa untuk Bruno yang saya kenal, dan Bruno Bruno yang lain yang tidak saya kenal, semoga mereka tetap menerima ayah mereka walau sang ayah sudah tidak lagi memiliki kendaraan keluarga (dan hal prestige materi yang lain).


Salam,
WiRani

Tuesday, June 10, 2014

2.985 meter

Pake baju warna terang. Biar keliatan kalo difoto ^_^
Teriakan-teriakan unyu dari sesama rombongan kaya gini nih, "Karna, bawa kami ke puncak!!" yang bikin merangkak ke puncak menjadi hal yang super menyenangkan :)
Habis istirahat bentar di batang pohon tumbang. Siap lanjut lagii..
Here we are : 2.985 meters above sea level
Ingatan saya sedikit teralihkan ke film "5cm" yang juga ambil scene di gunung. Saya pikir, waktu Ian bawa 1 kardus mie instant untuk stok logistik di gunung itu tuh lebayy tingkat tinggi. Etapi ternyata kok ya carrier saya juga dipenuhi sama mie instant yang sama, hehehe.. Plus panci besar pulak. Iya, kami bawa panci besarrr karena rombongan kami berjumlah 30 orang. Jadi ya memang harus masak sebanyak itu juga. Kata Bang Eka Diredja (daddy koordinator rombongan kita :D ), Naik gunung kan bukan mau kurus. Jadi harus tetep makan enak, hihihii...

Clear sky around us!
 Here we are, 2.985 meter above sea level : Puncak Gunung Gede.

Percayalah, hanya perasaan lelah dahsyat dan super pegal yang dihasilkan dari aktifitas sejak 25-27 Mei 2014 ini.
Tapi, percayalah juga, bahwa di puncak itu lengang, Sodara-sodara.

Kamu dan alam pikiranmu akan sibuk sendiri untuk mengagumi dan mencari kata-kata untuk mengungkapkan semua rasa yang menbludak-bludak di kepala dan hati.

Nyesel? Sama sekali tidak!.
Mau diulangi? Boleh, tapi tidak dalam waktu dekat.
Pegelnya masih kerasa, masbro :D