Thursday, June 25, 2020

[ENG] My Lockdown Experience in Bandung



As we know all over the earth, we are facing the same problem: the COVID-19 pandemic. Most countries are applying the lockdown policy, including Bandung, West Java Province, the city where I live.

My office started to do online classes on March 16, 2020. That was when the city government had not yet ordered every educational institution to close their offline activity. Even though the government had already announced that there were COVID-19 patients detected in Indonesia.

For the 1st month, I obeyed the government's suggestion that everybody should work and study from home. I mean, I didn’t go out of my house at all. I stayed at home 24/7 for one month. Oh, I forgot. I went out of home only once or twice a week to a small vegetable shop near my home. I walked to the shop because it was only 50 m away from my home. For one month, I did the home cooking and didn’t buy any food outside, even from online food service.

I could say that the bad news frightened me. The television, the internet, also the radio gave many instructions about the Do and Don’ts during the pandemic. They were broadcasting the numbers of positive patients, the number of deaths, and the conflicts among the society.

Finally, the Central Government applied the Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), which was close to a lockdown concept, but only for specific areas and some different applied regulations. PSBB for Great Bandung Area started in April 22, 2020 for two weeks. Great Bandung Area includes Bandung City, Bandung Kabupaten, West Bandung Kabupaten, Cimahi City, and Sumedang Kabupaten.

PSBB in Bandung was extended 3 times, so until today, the total duration for Great Bandung was 2 months. 

For me, this pandemic is not only a health matter, but it’s also more than that. It’s about how people are willing to slow down their hectic life, pull out of their busy lives, and re-learn how to be humble in the right way. Some religious days were celebrated during this pandemic. The Nyepi Day for Hindus, Easter Day for Christians, Eid Fitr for Moslems, and Vesak Day for Buddhists. 

Excluding Hindus (because Nyepi Day is a reflection day when they do nothing but fasting and praying), the people with other religions above would normally have an exciting celebration for their religious days. But all of those rousing plans had to be canceled without any excuses. Even if there were some people who insisted on praying massively with their communities.

I was glad that I did a few new things at home, such as cooking, gardening, cleaning the house and washing my laundry regularly, made some handmade masks, was involved in some part of kid’s online service, had a video collaboration with office mates, finished reading books and writing a review, and of course, practiced more English every day. Did I get bored? Only a bit J


~   ~   ~   ~   ~   ~   ~   ~   ~   ~   ~   ~
Thanks to David John Titheridge who has helping me with the correction. 

Sunday, June 21, 2020

Resensi Buku "Maksimal! Bukan Dominan"


Sampul depan
Cerita dikit ya, kenapa akhirnya memutuskan untuk meresensi buku kecil ini. Buku ini ternyata dicetak tahun 2010, diberikan sebagai hadiah kepada suami tahun 2016, dan baru ketemu lagi (secara nggak sengaja) di Juni 2020 ini. Buku ini selama kurang lebih 4 tahun nyelip di rongga antara meja dan tembok. Ketahuan kan ya, betapa buku ini terabaikan selama itu. Juga nggak dibaca oleh seorang pun di rumah ini :D

Singkat cerita, karena ini masih dalam masa kerja dari rumah, jadilah ayo liat kaya apa dalemnya. Sempat agak bosan karena kebanyakan testimoni di awal-awal halaman :D termasuk agak gatal juga karena ada beberapa kekeliruan minor EYD.

Saat sekarang sedang menulis resensi ini, belum selesai baca sampai habis. Tapi ternyata ada beberapa hal yang menggelitik saat mulai membaca.

Yak, sekarang resensinya ya.

----

Judul buku : Maksimal! Bukan Dominan "Cantik di Mata Suami, Berkenan di Hati Allah"
Penulis : Lily Eferin dan Wahyu Pramudya
Tebal : 76 halaman
Penerbit : VISI Press (PT. Visi Anugerah Indonesia), Bandung
Tahun terbit : 2010

----

Bicara tentang peran perempuan, sepertinya sudah menjadi hal pelik sejak ribuan tahun lalu. Apakah ibu rumah tangga itu lebih mulia daripada ibu bekerja? Apakah ibu bekerja lebih berkualitas daripada ibu rumah tangga? Apa pertimbangan suami meminta istrinya untuk berkarya di rumah? Apa yang dipikirkan suami saat mendukung istrinya berkarir? Gimana, ngrasa nggak asing kan dengan hal tadi?

Dari judul buku sampai dominasi warna sampul buku ini, sepertinya memang identik dengan selera perempuan dan ditujukan khusus untuk para istri. Tapi, buku ini juga bisa banget dibaca oleh para suami, juga dibaca oleh perempuan dan laki-laki belum menikah yang sedang berencana ke arah sana.

Di buku ini, kedua penulis berbagi dengan pembaca mengenai pandangan dan pendapat mereka tentang sosok istri bijaksana yang dimuat dalam Surah Pepatah 31:10-31 (lihat di sini). Pilihan kata sehari-hari yang dipakai kedua penulis dalam setiap artikel, membuat tulisan itu terasa akrab dan dekat layaknya seorang kawan yang sedang bercerita. Yang menambah unik yaitu setiap bab disampaikan dengan cara ala menulis surat elektronik. Seingat saya, saya belum pernah membaca buku dengan konsep seperti ini.

----

3*/5*



Resensi Buku "12 Kisah Perjalanan Menuju Damai : Melangkahi Luka"

Judul buku : 12 Kisah Perjalanan Menuju Damai : Melangkahi Luka
Tim Naskah : Rio Rahadian Tuasikal, Aprem Risdo,dkk
Tebal : 83 halaman
Penerbit : SFCGI (Search for Common Ground Indonesia)
Tahun terbit : 2014

---

Sampul depan
Bicara tentang keberagaman dan keberagamaan, Indonesia punya beberapa catatan pedih. Dari kepedihan itu, dua belas sosok di buku ini membuka dirinya, menuturkan luka, melapangkan hati dan membuka wawasan, serta membulatkan tekad untuk tetap menabur damai dalam mewujudkan kerukunan.
Ini bukan kisah sedih di hari minggu.
Juga bukan dongeng yang berakhir indah di ujung hari.
Beberapa malah belum berakhir dan masih terjadi.
Ini adalah kisah-kisah tentang keberanian menghadapi rasa takut dan keyakinan untuk melangkahi luka akibat kekerasan dan intoleransi.
Kisah-kisah yang mengajak pembaca untuk menyatakan toleransi yang bukan sekedar seruan dan kalimat pengantar pidato.

---
Point of View (POV) berbeda untuk setiap kisah. Ada narasumber yang menceritakan sendiri kisahnya, sehingga memakai POV orang pertama. Pada kisah lainnya, narator menggunakan POV orang ketiga.

---
Buku ini diterbitkan dalam rangkaian Pekan Aksi #BDGLautanDamai tahun 2014.
Jadi sepertinya dicetak terbatas dan tidak dijual di toko-toko buku.
(Bukan promosi, tapi kalau kalian mau beli buku ini, bisa hubungi Aprem Risdo di Instagramnya )
---

3.5*/5*

Pengantar di tiap Kisah
Pengantar di tiap Kisah





Monday, May 25, 2020

[ENG] A Brief of My Hometown

I was born in a private hospital in Cepu, East Java since my father was working for a mining company that owned that hospital.
At the time, we were living in a remote village in Kabupaten Tuban, named Banyurip.
This village was 138,6 km far from Surabaya, the capital city of East Java Province.
I got the exact number of kilometers from google ofc, hahaha.

The village was surrounded by woods.
The wood was well-known for its good quality of teak wood. So, there were many home industries of teak furniture.
Not as famous as Jepara’s carving, but they were good enough.
Many of the villagers had their furniture by local carpenters.
My grandmother also had some teak furniture that still exists right now at my parent’s house.
Like other villages, Banyurip people work as a farmer.
Some of them run their field to grow vegetable plants, like the coconut tree, nuts, beans, etc.
Some others had a small farm for chicken, goat, and cow breeding.

Because it was a small village, there was only one kindergarten school which run by a mining company, one public elementary school, and one junior high school which also owned by that mining company.
If the students want to continue their study to high school or secondary engineering school aka STM, they should move or back-and-forth to the capital of the district.
Usually, boys will continue their studies, while the girls were insisted to work to help their parents or just got married.
Yeah, it was a typical culture of a remote village in many places in Indonesia.

Anyway, I have been living in Banyurip until I was in 2nd grade of elementary school, or about 7 yo.
Then my family was moved to Cirebon, West Java because my father’s company moved him to that city.

There was one experience that stays still in my memory: I hunt the teak larva at teak wood with my uncles! Seriously.
They asked me if I want to spend the weekend with them in the wood and searching for the teak larva, then we brought the larva home, and my mom or my grandmother will turn it into a super yummy food.
The common cook fried the larva with garlic, shallot, and extra chili.
Trust me, it was a full protein cuisine!
I would like to hunt these larvae if the wood still exists.
Anyway, locals called the larva: enthung.

Since I live there only for about 7 years, there was not much memory about what I dislike about the village.
Uhm, maybe, if I see it now, I don’t want to live there because there were no malls, cinemas, or amusement parks. :D
If I have chances to go there (actually, my mom and her siblings plan to “mudik” this year.
That was before the pandemic exists  so sad we had to cancel the mudik trip), I would like to go bicycling around the village and enjoyed the pine trees, the goat cages, the cliff scenery, seeing my kindergarten and elementary school.
I wish they were still existing since it was more than 15 years I never been there.
Also I want to re-tracking my way to go to elementary school and walk through the small bamboo wood and little river.
Thank you for bringing up the hometown topic.

This might help you to see closer to my hometown. Not mine, because when I was a kid, I don't have any gadgets. I guess the video was taken recently, not in the 1990 :D


Wednesday, May 6, 2020

Nulis Bahasa Inggris? Berani?

Baiklah, jadi begini ceritanya.

Saya pertama kali kenalan dengan pelajaran Bahasa Inggris itu kelas 6 SD (itu artinya udah sekitar 20 tahun lalu), dan beberapa tahun sebelumnya sudah tertarik dengan ide "bepergian keluar negeri dan dibayar". Jadi dalam masa-masa itu, sebuah profesi yang terpikirkan untuk merealisasikan ide itu adalah pramugari pesawat terbang. Story short, saya nggak pernah jadi pramugari sampai sekarang :D

Tapi apakah ide "bepergian keluar negeri dan dibayar" mati begitu saja? Oh, tentu tidak! Ide itu sepertinya masih terpatri di sanubari. Hanya saja, memang sempat terkubur beberapa tahun lamanya, sehingga seperti terlupakan. Pernah mencoba, tapi gagal, lalu berhenti, tidak dilanjutkan.

Tahun 2019 sepertinya menjadi kebangkitan sinar ide itu. Berada di lingkungan dengan berbagai macam kewarganegaraan dan berbincang tentang rupa-rupa pengalaman dari berbagai tempat di belahan lain bumi, secara tidak sadar membuat ide itu muncul lagi ke permukaan. Sambil mempertanyakan ulang pada diri sendiri : Apakah kamu masih mau? Apakah kamu bisa? Apa yang akan kamu lakukan? Bagaimana kamu melakukannya? Kapan mau memulai? Mau mulai dari mana? Dan lain lain-dan lain, akhirnya mulai membulatkan tekad untuk merealisasikan ide itu lewat jalan pendidikan pasca sarjana melalui jalur beasiswa. (Iyalahhh, udah umur segini mana ada lowongan pramugari? Hehehe..) Negara tujuan? Mari memulai dengan Australia atau Kanada.

Kemudian, di awal 2020 mulai membuat garis waktu tentang segala persiapan menuju ide itu. Kali ini, supaya tidak kehilangan jejak dan tetap menjaga sinar, beberapa hasil persiapan akan di-posting di blogs ini. Masih pada percaya kan bahwa "Langkah besar dimulai dari satu langkah kecil"?

Bagus ya kembangnya? :D
Langkah kecil pertama yang akan dipublikasikan adalah sebuah tulisan dalam bahasa Inggris :D dan blogs ini akan dijadikan memorial site tentang perjalanan ide itu.

Eits eits, hayooo... Jangan keburu nyinyir dong. Ayo, tunjukan kalau kamu juga sosok yang suportif dan penuh welas kasih. Ketika kamu memberikan semangat, energi positifnya juga akan balik lho. Ya kan ya kan?

Baiklah, sekian kata pengantar sebagai pengingat tentang memulai sebuah perjuangan.


Suatu malam dengan banyak ide seliweran di kepala.

Tuesday, May 5, 2020

Resensi Novel : The Kite Runner

Pertama kali serius meresensi buku nih.
(Lalu ternyata postingan ini adalah postingan pertama di blogs ini tahun 2020, yeay!)
Resensi yang lebih singkat udah diposting di instagram wiraniiii ya.
Ini adalah versi resensi dan curhat sedikit.

Pepatah "Jangan menilai buku dari sampulnya" sekali lagi menunjukan kebenarannya.
Novel ini sudah lama tergolek di lemari kamar saya.
Hanya saya sentuh 2-3x untuk melihat tulisan di halaman sampul bagian luar dan dalam saja.

Novel yang sudah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa di 70 negara,
sang penulis mendapatkan penghargaan dari UNHCR,
serta review dari beberapa media ternama seperti Koran Tempo, Kompas, The Jakarta Post, dll.

Sudah.

Selebihnya, saya abaikan karena saya nggak begitu suka dengan gambar sampulnya.
(Wahai desainer sampul, janganlah engkau tersinggung.
Tidak ada yang salah. Ini hanya karena kita berbeda)


---
Judul buku : The Kite Runner
Penulis : Khaled Hosseini
Tebal : 490 halaman
Penerbit : Qanita, Bandung
Tahun terbit : 2014

---
Novel dengan duapuluh lima bab ini ternyata novel fiksi sejarah,
yang membuat pembaca akan larut dalam dimensi Timur yang kental dengan tradisi,
disandingkan dengan dimensi Barat yang khas dengan kemerdekaan.

Sebagai penyuka cerita sejarah (jenis-jenis manusia susah move on :D),
saya menikmati saat Khaled mengajak menyusuri lorong-lorong pasar di Kabul,
ruang bawah tanah tempat para pengungsi berhimpitan,
melihat lebih dekat suku Hazara yang dimarjinalkan.

Penggunaan sudut pandang orang pertama
berhasil membawa saya pada emosi setiap karakter yang diceritakan.

Bagaimana Sang Baba menjaga kehormatan keluarga,
Amir yang terbelenggu rasa bersalah.
Hassan yang setia tanpa pamrih.
Ali sang pengabdi.
Bahkan membenarkan sikap Sanaubar sang bunga desa pada masa itu.

Kisah sepanjang 490 halaman ini punya klimaks dan anti klimaks pada masing-masing Bab-nya.
Khaled seperti bercerita tentang kesaksiannya sebagai pria berdarah Afganistan yang hidup pada masa kecil sebelum pecah peperangan di tanah airnya,
usaha pelarian emosi dan diri pada masa remaja-pemuda,
hingga dia sebagai orang dewasa yang hidup di negara merdeka.

Di hal.255, ketika ayah mertua Amir berpidato pada anak dan mantunya,
untuk sesaat saya seperti dibawa untuk melihat juga yang terjadi di Nusantara.
Betapa konsep bibit, bebet, bobot menjadi dasar yang amat kuat dalam keluarga.
Bahwa ikatan darah itu kuat.

---
Ada beberapa istilah lokal yang dipakai oleh penulis,
yang mungkin cukup sulit untuk dimengerti.
Tapi menurut saya itu adalah bumbu magis yang bisa membawa kita ke plot cerita.

---
4*/5*
The book in my living room

Saturday, February 1, 2020

Sebut Saja "Joanna Ooh Na-na"

Nama aslinya Joanna Madelyn Mapandin. Lahir hari Rabu, 1 Februari 2018. Ibundanya keturunan Cirebon-Sunda, ayahandanya keturunan Toraja-Ambon-Sangir. Yes, people. I am gonna talk about a baby girl :D
Joanna and Limousin
Enjoying Cashew with Majiro

At first, nothing special about her. Because all the infant can do are crying and
It might be her first time tasted the durian.
sleeping, hahaha.. Right? Time flew and I (and the people around her) found that she is sooooo cute baby girl, 
mingle easily, adorable, lovable, kissable, peluk-able, culik-able, dan -able -able lainnya.

Di awal-awal masa dia belajar bicara, aku memanggilnya "Joanna Ooh Na-na" dengan nada lagunya Camila Cabello - Havana. Ya tentu saja dengan harapan si bayi akan menoleh padaku. Namanya juga caper. Yang penting usaha :p Dan yang membuat girang adalah ternyata si bocah tidak takut untuk berinteraksi dengan orang baru. Dia mau diajak ngobrol, bahkan selalu mau digendong orang lain. Apalagi kalau ditawarin naik mobil, hmmm... 100% tidak akan ditolak.

Pengalaman pertamanya ke tempat tinggal kami adalah pengalaman yang akan selalu diingat. Saat itu dia masih terhuyung belajar berjalan, masih belum bisa mengucap kata, dan nggak bisa tidur siang karena mungkin ini tempat baru buat dia :D padahal udah menguap berkali-kali dan merebahkan tubuhnya ke bantal. Mungkin ini juga pengalaman pertamanya tanpa orang tuanya di tempat baru yang terasa asing.

Singkat cerita, datanglah kesempatan tak terduga bahwa dia akan tinggal bersama kami untuk waktu lama, kurang lebih 3 minggu, karena ibunya harus berada di luar kota untuk tugas studi Magister Keperawatan nya. Apa yang terjadi selama 3 minggu tersebut? Tentu saja sebuah kenangan yang akan nempel banget di ingatan.

Sweetest After Bath-Time Evr

Apa saja yang berubah? Jam tidur, durasi istirahat, menu makan di rumah, milih menu cemilan sehat dan variasi rasa, jam main di luar ruangan, drama makan, mandi, dan tidur, gak sempat dandan bahkan hanya untuk menyisir rambut, and the list goes on.

Apa saja yang ku berikan? Cinta.
Apa saja yang ku dapat? Bahagia.

Sesederhana itu. Walaupun sebenarnya saat menjalaninya ada saat-saat yang sangat nggak sederhana 😆

Kosakata yang dia ucapkan, semakin hari semakin bertambah banyak dan semakin jelas pengucapannya.
Semakin hari, si suami juga makin sayang sama si bocah. Should I consider this as a thread? Hohohooo...

Selama 3 minggu itu, dia bergantung pada kami. Dia mencari kami untuk memenuhi kebutuhannya, menemaninya, menghiburnya, bermain dengannya, memeluknya, menggendongnya. Setelah itu berakhir, dia akan kembali kepada orangtuanya.

Di lain kesempatan, kami menghabiskan waktu di Yogyakarta. Mungkin perjalanan terjauhnya berkendara dengan mobil, dan perjalanan terjauhku dengan batita 😁

Drama mengantuk, bangun tidur, dan mandi sudah mulai bisa ditaklukan

Dan tulisan ini untuk mengenang saat-saat indah itu. Karena di masa depan, banyak hal akan berubah. Kami berubah. Dia juga berubah. Mungkin juga ingatan dan perasaan yang pernah kami miliki.

Selamat memperingati tahun ke 2 hidupmu di dunia ini, Joanna O nana.

Much love,
Bude & Om Abet