Friday, June 13, 2014

dan Raeni-pun menampar saya....



Beberapa hari belakangan ini, ramai menjadi bahasan media sosial tentang anak tukang becak yang menjadi lulusan terbaik sebuah universitas terbaik di sebuah kota besar di Jawa Tengah. Tulisan yang saya baca di beberapa situs berita nasional malah ulasannya mirip-mirip. Jadi saya nggak tahu, siapa duluan yg memposting tulisan tentang kisah anak tukang becak dari Kendal, Jawa Tengah itu. Jadi saudara-saurada, mari saya perkenalkan sang anak tukang becak itu : namanya Raeni.

Sumber gambar : unnes.ac.id
Baik, saya cerita sedikit tentang gambar di atas ya...


Dikisahkan, pada hari Selasa, 10 Juni 2014 lalu, ada momen tahunan yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Semarang di Semarang (ya iyalahh, emang dimana lagi??) yaitu wisuda. Diceritakan bahwa Raeni adalah mahasiswa lulusan terbaik dalam wisuda saat itu. Dia lulus dari Jurusan Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi dengan IPK 3.96. Yang membuat momen wisuda kali ini menjadi topik bahasan banyak media online (termasuk di media radio nasional dan di sebuah tayangan talkshow di stasiun televisi nasional hari ini 12/06/2014,) adalah karena ada seorang wisudawati (lengkap dengan dandanan kebaya dan toganya) memasuki kampus dan menuju gedung perhelatan akbar itu dengan sebuah BECAK, sementara banyak dari rekan wisudawan lain yang diantar oleh kendaraan bermotor. Dan ternyata sang tukang becak penuh senyum sangat sumringah itu adalah AYAHNYA sendiri, Sodara-sodara!

Mungkiiiinnn... ini mungkin menurut saya lho ya... Mungkin ini adalah skenario/ide pribadi yang di-support oleh pihak kampus (baca : ide untuk memasuki area kampus dengan menggunakan becak). Saya sih agak sedikit mengernyitkan kening ketika membaca bagian ".... Memasuki area kampus dengan becak, dan disambut oleh rektor.. bla bla bla...."

Tapiiii.. bukan itu kok yang bikin saya tertampar. Bukan karena saya tidak pernah menjadi lulusan terbaik kampus saya, atau karena IPK saya hanya 3,54 ketika diwisuda :p
Wisuda UPN Veteran Yogyakarta - 2009
 Merasa tertampar karena saya pernah mendapat kisah di salah satu bagian hidup saya yang sangat berbalik dengan kejadian Raeni ini.

Begini kisah singkatnya...

Saya mengenal seorang pria, sebut saja namanya Bruno. Waktu itu kami masih sama-sama kuliah di Jogja. Beda usia, beda angkatan, beda kampus, dan beda tabiat tentu saja. Kuliahnya memang tersendat. Saat itu ia tengah menyelesaikan studi S1 di Jurusan Management Fakultas Ekonomi di salah satu kampus swasta di daerah Mrican (yang ngaku mahasiswa Jogja, pasti ngeh sama kampus yang saya maksud :p ). Entah kurang motivasi, entah kehilangan gairah, entah apa yang menyebabkan ketersendatan itu, tapi yang saya lihat, dia menyelesakan studi S1-nya dalam waktu 6 (enam) tahun dengan IPK 2, sekian.

Tibalah saatnya untuk melaksanakan wisuda di tahun 2013 kemarin. Waktu proses itu, saya tidak begitu menyimak perjalanan akhir masa kuliahnya. Setelah proses wisuda, berceritalah dia tentang beberapa hal kecil dalam persiapan wisudanya.

Ayahnya si Bruno ini seorang pensiunan yang tinggal di sebuah kota berkembang di Jawa Barat. Yaaa, bukan termasuk golongan orang super tajir, tapi juga tidak termasuk kalangan di bawah garis kemiskinan. Bruno bercerita kepada saya bahwa waktu itu ayahnya berencana datang ke Jogja untuk naik jasa transportasi umum travel saja. Artinya tanpa membawa mobil keluarga. Si ayah bilang, yaa biar simple saja karena mereka hanya datang bertiga (si ayah, sang mamah, dan salah satu adik Bruno). Toh kakak tertua Bruno tidak bisa hadir ke acara wisuda, dan adiknya yang lain juga sedang kuliah di Jogja. Mungkin kalau menyetir antarkota, si ayah sudah mulai lelah atau apalah. Mungkin lho yaaa…

Seperti biasa, saya lebih banyak menjadi pendengar. Lalu si Bruno melanjutkan cerita dengan agak sedikit menaikan suara, dia bilang ke ayahnya jika beliau tidak datang ke Jogja menggunakan mobil keluarga, mending tidak usah datang sekalian.

GLEK!
“Kalo nggak bawa mobil, nggak usah datang sekalian!”
          “Kalo nggak bawa mobil, nggak usah datang sekalian!”
                        “Kalo nggak bawa mobil, nggak usah datang sekalian!”

Kalimat itu mengiang terus di telinga saya sampai membuat sakit. Sakit kepala dan sakit hati di saat bersamaan!
Anak macam apa itu? Kehadiran orang tua AKAN diterima JIKA ada tambahan aksesoris (mobil dll dll). Lalu, kalau orang tuanya bangkrut, jatuh miskin, terlilit hutang, atau hal buruk lainnya yang menyangkut finansial dan materi, apa akan langsung tidak diaku orang tua?! Arrgghhh… Saya gemas sekali mendengar cerita tentang Bruno dan ayahnya tadi. Kok ya kayaknya ini kisah mirip-malin-kundang versi moderen ya?? Tapi bukan hak saya untuk menghakimi bahwa si Bruno durhaka atau semacamnya. Saya cuman, yaaa…. Miris aja mendengar kisah itu.

Di satu sisi, dari pemberitaan media massa saya melihat sosok Raeni yang bangga diantar becak oleh ayahnya ketika wisuda. Tapi di sisi lain, dari cerita nyata di dekat saya, saya melihat sosok Bruno yang malu jika ayahnya tidak datang menggunakan mobil dalam upacara wisudanya.

Saya hanya bisa berdoa untuk Bruno yang saya kenal, dan Bruno Bruno yang lain yang tidak saya kenal, semoga mereka tetap menerima ayah mereka walau sang ayah sudah tidak lagi memiliki kendaraan keluarga (dan hal prestige materi yang lain).


Salam,
WiRani

Tuesday, June 10, 2014

2.985 meter

Pake baju warna terang. Biar keliatan kalo difoto ^_^
Teriakan-teriakan unyu dari sesama rombongan kaya gini nih, "Karna, bawa kami ke puncak!!" yang bikin merangkak ke puncak menjadi hal yang super menyenangkan :)
Habis istirahat bentar di batang pohon tumbang. Siap lanjut lagii..
Here we are : 2.985 meters above sea level
Ingatan saya sedikit teralihkan ke film "5cm" yang juga ambil scene di gunung. Saya pikir, waktu Ian bawa 1 kardus mie instant untuk stok logistik di gunung itu tuh lebayy tingkat tinggi. Etapi ternyata kok ya carrier saya juga dipenuhi sama mie instant yang sama, hehehe.. Plus panci besar pulak. Iya, kami bawa panci besarrr karena rombongan kami berjumlah 30 orang. Jadi ya memang harus masak sebanyak itu juga. Kata Bang Eka Diredja (daddy koordinator rombongan kita :D ), Naik gunung kan bukan mau kurus. Jadi harus tetep makan enak, hihihii...

Clear sky around us!
 Here we are, 2.985 meter above sea level : Puncak Gunung Gede.

Percayalah, hanya perasaan lelah dahsyat dan super pegal yang dihasilkan dari aktifitas sejak 25-27 Mei 2014 ini.
Tapi, percayalah juga, bahwa di puncak itu lengang, Sodara-sodara.

Kamu dan alam pikiranmu akan sibuk sendiri untuk mengagumi dan mencari kata-kata untuk mengungkapkan semua rasa yang menbludak-bludak di kepala dan hati.

Nyesel? Sama sekali tidak!.
Mau diulangi? Boleh, tapi tidak dalam waktu dekat.
Pegelnya masih kerasa, masbro :D