Friday, December 11, 2015

Rumah Belajar “Embrio” : Dua Jam Sebagai Pengganti Peran Ayah-Ibu Bekerja (Part 2)



Main lego sebelum mulai belajar
Menyewa sebuah kamar di rumah kos seharga Rp. 700.000/bulan (pada waktu itu), membeli karpet dan meja-meja kecil, serta memanfaatkan buku-buku sekolah bekas putranya. Dengan memasang bandrol Rp. 300.000/murid/bulan, “Embrio” selalu dicari oleh orang tua murid. Dari sekian anak yang belajar, tentu saja selalu ada anak-anak yang mendapat pengecualian membayar kurang dari Rp.300.000/bulan. Semua berdasarkan kebijaksanaan ibu pendiri. Jadwal belajar Senin s.d Jumat adalah 5 hari. Dalam sebulan berarti ada 20 kali pertemuan. Artinya dengan membayar Rp.300.000/bulan, maka nilai per pertemuan adalah Rp. 15.000/anak. Nilai rupiah yang tidak jauh berbeda dengan satu kali makan siang, bukan? J

Saya bergabung dengan Rumah Belajar “Embrio” pada Juli 2015 lalu. Selain tentang pelajaran Sekolah Dasar, ada hal lain yang saya lihat di sini. Ternyata cukup banyak anak murid yang sengaja dileskan bukan karena kemampuan akademiknya kurang. Tapi karena supaya tidak keluyuran dari sekolah sebelum dijemput orangtuanya. Fenomena yang banyak dijumpai saat ini adalah banyak orang tua (suami dan istri) sama-sama bekerja, sehingga seringkali melewatkan jam belajar di rumah bersama anak-anak mereka. Karena merasa kewalahan dengan energi dan waktu yang tersita di kantor dan pekerjaan masing-masing, maka rumah belajar menjadi solusi alternatif. Selain PR sudah dikerjakan di rumah belajar, anak-anak juga akan terawasi oleh orang dewasa yang dikenal oleh orang tua.

Di satu sisi saya miris melihat fenomena orang tua masa kini yang terlihat seperti abai untuk mendampingi tumbuh-kembang putra-putri mereka. Para orang tua kebanyakan lebih memilihkan kegiatan ekstrakurikuler maupun bermacam-macam les untuk mengisi waktu anak-anak mereka. Si anak sedari subuh sudah harus siap ke sekolah. Di sekolah sampai sekitar jam 12.00. Sepulang sekolah harus menuju ke rumah belajar. Setelah itu masih harus menunggu dijemput orangtuanya. Jadi, “Embrio” ini bukan sekedar rumah belajar saja, tapi juga merangkap ‘menyediakan jasa’ penitipan anak J

Di luar perasaan miris tersebut, tentu saya merasakan banyak manfaat dan pelajaran dari keberadaan “Embrio”. Jika lembaga bimbingan belajar lainnya setelah selesai kelas, si murid harus segera keluar dari kelas. Di “Embrio”, setelah selesai mengerjakan PR, murid masih bisa bercengkerama dengan pengajar. Di lembaga bimbingan belajar lain jika kelas sudah bubar, maka yang terlambat dianggap membolos. Di “Embrio”, jika si murid harus mengikuti kegiatan tambahan di sekolah yang menyebabkan keterlambatan belajar di “Embrio”, masih diperbolehkan masuk ruangan dan mengerjakan PR dengan tetap didampingi pengajar. Di lembaga bimbingan belajar lain, agak sulit membiarkan anak duduk leyeh-leyeh karena kelelahan saat belajar. Di “Embrio”, beberapa kali ada murid yang tertidur a


tau sekedar berbaring di lantai karpet setelah ‘ngambek’ karena sedang bad mood dan lelah. Selama dalam posisi tenang, teman-teman lainnya tetap bisa belajar seperti biasa. Yang tertidur? Ya dibiarkan saja. Namanya juga capek.

Membantu mengeringkan genangan air
Ada nilai keakraban dan ikatan yang lebih dari sekedar hubungan berjuluk pengajar-murid. Pengajar juga masih memerlukan penghasilan tambahan agar ‘dapur tetap mengepul’. Tapi rasa kepuasannya jauh sekali ketika membandingkan Rp. 15.000/hari/anak dengan sukacita dua jam per hari menjadi pendamping mereka untuk ‘menggantikan’ peran orang tua yang masih berada di tempat kerjanya masing-masing. Apalagi jika peserta belajar melaporkan nilai ulangan mereka yang di atas 80. Rasa lelah mendengarkan ocehan mereka seperti hilang seketika.

Memang pada mulanya “Embrio” dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup si pendiri. Dengan bekal kesukaannya atas dunia anak-anak dan matematika, “Embrio” terus bertumbuh. Sampai saat ini tercatat ada 23 peserta belajar dengan 2 pengajar. Ada harapan ke depan bahwa “Embrio” tidak lagi dikerjakan secara personal, berdua, atau bertiga saja. Namun bisa menjadi bagian dari program pelayanan gereja yang memberdayakan warganya. Diakonia yang kebanyakan dilaksanakan oleh gereja baru ‘sekedar’ memberikan bantuan sembako, biaya pendidikan, atau keringanan biaya berobat. Banyak gereja memilih bidang pertanian, peternakan, atau kerajinan tangan sebagai alternatif untuk pengembangan diakonia transformatif. Tapi belum banyak yang menunjukan kemajuan signifikan. Ya, beberapa ada yang berhasil membangun komunitas produktif. Tapi banyak juga yang hilang kabar beritanya.

Ketika gereja, secara lembaga, mengusung tema “Menjadi Berkat bagi Sesama” maka semestinya direalisasikan bukan ‘hanya’ di dalam gedung gereja. Tapi sungguh-sungguh memikirkan strategi pengembangan untuk menjangkau keluar tembok gereja. Tentu saja dimulai dan digerakan oleh warganya sendiri. Bidang pendidikan bisa menjadi salah satu alternatif yang digarap gereja untuk memulai gerakan diakonia transformatif sekaligus ikut berperan serta dalam meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa.
Main rumah-rumahan dulu

“Embrio” memiliki rencana ke depan untuk menerima lebih banyak peserta belajar dan membuka cabang rumah belajar, serta membuka kelas pra sekolah dasar. Ketika ide dan program ini direspon oleh gereja, ada harapan bahwa program ini akan lebih banyak menjangkau warga jemaat dari berbagai rentang usia dan latar belakang (misalnya : melibatkan pemuda gereja yang belum mendapatkan pekerjaan, memberikan wahana pelatihan dan atau pilihan ladang pelayanan bagi mahasiswa/siswa, bahkan menjadi pilihan bagi orang-orang yang tidak bisa menyanyi atau bermain musik :D ).

Dalam sebuah percakapan dengan beberapa warga Jemaat di daerah lain, ternyata di sana juga mulai dikembangkan kursus atau kelas tambahan belajar bagi anak-anak warga Jemaat dengan biaya per bulan yang sangat terjangkau. Karena penyelenggaraan kursus ini bukan bertujuan utama untuk menghasilkan profit, maka fungsi iuran bulanan berperan sebagai ‘pengikat’ atau komitmen antara peserta belajar dan pengajar. Melihat hal tersebut, tentu bukan sesuatu yang mustahil jika gereja – di manapun berada – juga mulai memfasilitasi gerakan-gerakan serupa. Iya betul, banyak gereja yang memiliki Yayasan berbadan hukum yang bergerak di Bidang Pendidikan. Tapi akan selalu ada anak-anak yang memerlukan tambahan dukungan pendidikan, dan akan selalu ada orang dewasa yang juga memerlukan ruang aktualisasi diri, serta untuk mencari penghasilan tambahan.**

Rumah Belajar “Embrio” : Dua Jam Sebagai Pengganti Peran Ayah-Ibu Bekerja (Part 1)

Pengertian sederhana dari social entreprenership adalah mengerti permasalahan sosial di masyarakat dan melihatnya sebagai peluang untuk melakukan perubahan sosial dengan menggunakan kemampuan kewirausahaan.

Memiliki penghasilan rutin tentu menjadi kebutuhan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya.  Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia juga memiliki hati nurani yang dapat ‘tersentuh’ untuk tidak melulu menomorsatukan materi dan mendahulukan hal-hal yang bersifat sukarela atau tanpa imbalan. Memberikan nasi kotak dari rapat kantor kepada pemulung atau tukang sampah yang ditemui di jalan, menghadiahi alat tulis untuk anak warga jemaat/gereja yang berada dalam kondisi pra sejahtera, memberikan pelajaran matematika tambahan kepada anak-anak di sekitar rumah, atau kalau di kota Bandung, ada seorang Bapak sepuh yang dengan sukarela setiap hari berkeliling kota Bandung (sesuai dengan kemampuan tubuhnya, tentu saja) untuk mencopoti paku di pohon yang dipasang untuk menempelkan iklan dan membersihkan sampah yang dijumpai[1].

Biasanya sikap sukarela ini lahir karena si pelaku mengerjakan (atau dalam bahasa spiritual sering disebut sebagai ‘panggilan’) hal-hal yang dia sukai dan memberikan kebahagiaan bathin yang nilai kepuasannya seringkali jauh melampaui nilai materi. Kalaupun ada materi yang didapat, tentu saja disyukuri sebagai rezeki yang diberikan Sang Maha Pemberi.

Menyoal social entrepreunership, kali ini saya akan secara khusus bercerita mengenai sebuah rumah belajar di kota Bandung. Berjuluk Rumah Belajar “Embrio”, sang pendiri berniat untuk membantu anak-anak SD untuk mengerjakan PR dari sekolah maupun berlatih soal-soal. Si pendiri ‘kebetulan’ adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang sangat menyukai matematika, dan pernah bertahun lamanya menjadi karyawan perusahaan tekstil ternama sebagai akuntan. Kegemaran dengan matematika itu ditularkan kepada anak semata wayang, yang sukses mengantarkan si anak menjadi juara kompetisi-kompetisi matematika se-Bandung. Melihat prestasi sang putra, beberapa orang tua murid lain mengajukan permintaan kepada beliau untuk membuka les di dekat sekolah[2]. Awalnya si ibu bergabung dengan beberapa kawan membuka rumah belajar. Dimulai dengan hanya 1 orang murid saja pada waktu itu. Seiring dengan promosi dan prestasi, maka semakin banyaklah anak murid yang mendaftar dan bergabung. Namun seiring waktu juga, rupanya ada kesalahpahaman dari si Ibu dengan para rekan di rumah belajar tersebut. Lalu dengan niat ikhlas si ibu mengundurkan diri, dan mulai merintis Rumah Belajar “Embrio”. Sendirian. Dengan bantuan sahabat dan donatur, dimulailah perjalanan kisah Rumah Belajar “Embrio”.


Bersambung ke Bagian 2 di sini




[1] Sariban. Namanya disebut oleh Ridwan Kamil, Walikota Bandung, ketika menerima anugerah Adipura tahun 2015 yang diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia sebagai penghargaan atas pencapaian kebersihan kota. Sariban adalah salah satu sosok yang diharapkan dapat menginspirasi warga Bandung lainnya untuk tetap menjaga kebersihan kota. Tidak ada yang menggaji Sariban. Tapi dia melakukan atas dasar kesadaran bahwa bumi ini ciptaan Yang Maha Kuasa yang harus dijaga kelestariannya. Sesederhana itu.
[2] Saat itu si anak bersekolah di salah satu sekolah dasar katolik yang berada di daerah Bandung Timur.