Monday, May 25, 2020

[ENG] A Brief of My Hometown

I was born in a private hospital in Cepu, East Java since my father was working for a mining company that owned that hospital.
At the time, we were living in a remote village in Kabupaten Tuban, named Banyurip.
This village was 138,6 km far from Surabaya, the capital city of East Java Province.
I got the exact number of kilometers from google ofc, hahaha.

The village was surrounded by woods.
The wood was well-known for its good quality of teak wood. So, there were many home industries of teak furniture.
Not as famous as Jepara’s carving, but they were good enough.
Many of the villagers had their furniture by local carpenters.
My grandmother also had some teak furniture that still exists right now at my parent’s house.
Like other villages, Banyurip people work as a farmer.
Some of them run their field to grow vegetable plants, like the coconut tree, nuts, beans, etc.
Some others had a small farm for chicken, goat, and cow breeding.

Because it was a small village, there was only one kindergarten school which run by a mining company, one public elementary school, and one junior high school which also owned by that mining company.
If the students want to continue their study to high school or secondary engineering school aka STM, they should move or back-and-forth to the capital of the district.
Usually, boys will continue their studies, while the girls were insisted to work to help their parents or just got married.
Yeah, it was a typical culture of a remote village in many places in Indonesia.

Anyway, I have been living in Banyurip until I was in 2nd grade of elementary school, or about 7 yo.
Then my family was moved to Cirebon, West Java because my father’s company moved him to that city.

There was one experience that stays still in my memory: I hunt the teak larva at teak wood with my uncles! Seriously.
They asked me if I want to spend the weekend with them in the wood and searching for the teak larva, then we brought the larva home, and my mom or my grandmother will turn it into a super yummy food.
The common cook fried the larva with garlic, shallot, and extra chili.
Trust me, it was a full protein cuisine!
I would like to hunt these larvae if the wood still exists.
Anyway, locals called the larva: enthung.

Since I live there only for about 7 years, there was not much memory about what I dislike about the village.
Uhm, maybe, if I see it now, I don’t want to live there because there were no malls, cinemas, or amusement parks. :D
If I have chances to go there (actually, my mom and her siblings plan to “mudik” this year.
That was before the pandemic exists  so sad we had to cancel the mudik trip), I would like to go bicycling around the village and enjoyed the pine trees, the goat cages, the cliff scenery, seeing my kindergarten and elementary school.
I wish they were still existing since it was more than 15 years I never been there.
Also I want to re-tracking my way to go to elementary school and walk through the small bamboo wood and little river.
Thank you for bringing up the hometown topic.

This might help you to see closer to my hometown. Not mine, because when I was a kid, I don't have any gadgets. I guess the video was taken recently, not in the 1990 :D


Wednesday, May 6, 2020

Nulis Bahasa Inggris? Berani?

Baiklah, jadi begini ceritanya.

Saya pertama kali kenalan dengan pelajaran Bahasa Inggris itu kelas 6 SD (itu artinya udah sekitar 20 tahun lalu), dan beberapa tahun sebelumnya sudah tertarik dengan ide "bepergian keluar negeri dan dibayar". Jadi dalam masa-masa itu, sebuah profesi yang terpikirkan untuk merealisasikan ide itu adalah pramugari pesawat terbang. Story short, saya nggak pernah jadi pramugari sampai sekarang :D

Tapi apakah ide "bepergian keluar negeri dan dibayar" mati begitu saja? Oh, tentu tidak! Ide itu sepertinya masih terpatri di sanubari. Hanya saja, memang sempat terkubur beberapa tahun lamanya, sehingga seperti terlupakan. Pernah mencoba, tapi gagal, lalu berhenti, tidak dilanjutkan.

Tahun 2019 sepertinya menjadi kebangkitan sinar ide itu. Berada di lingkungan dengan berbagai macam kewarganegaraan dan berbincang tentang rupa-rupa pengalaman dari berbagai tempat di belahan lain bumi, secara tidak sadar membuat ide itu muncul lagi ke permukaan. Sambil mempertanyakan ulang pada diri sendiri : Apakah kamu masih mau? Apakah kamu bisa? Apa yang akan kamu lakukan? Bagaimana kamu melakukannya? Kapan mau memulai? Mau mulai dari mana? Dan lain lain-dan lain, akhirnya mulai membulatkan tekad untuk merealisasikan ide itu lewat jalan pendidikan pasca sarjana melalui jalur beasiswa. (Iyalahhh, udah umur segini mana ada lowongan pramugari? Hehehe..) Negara tujuan? Mari memulai dengan Australia atau Kanada.

Kemudian, di awal 2020 mulai membuat garis waktu tentang segala persiapan menuju ide itu. Kali ini, supaya tidak kehilangan jejak dan tetap menjaga sinar, beberapa hasil persiapan akan di-posting di blogs ini. Masih pada percaya kan bahwa "Langkah besar dimulai dari satu langkah kecil"?

Bagus ya kembangnya? :D
Langkah kecil pertama yang akan dipublikasikan adalah sebuah tulisan dalam bahasa Inggris :D dan blogs ini akan dijadikan memorial site tentang perjalanan ide itu.

Eits eits, hayooo... Jangan keburu nyinyir dong. Ayo, tunjukan kalau kamu juga sosok yang suportif dan penuh welas kasih. Ketika kamu memberikan semangat, energi positifnya juga akan balik lho. Ya kan ya kan?

Baiklah, sekian kata pengantar sebagai pengingat tentang memulai sebuah perjuangan.


Suatu malam dengan banyak ide seliweran di kepala.

Tuesday, May 5, 2020

Resensi Novel : The Kite Runner

Pertama kali serius meresensi buku nih.
(Lalu ternyata postingan ini adalah postingan pertama di blogs ini tahun 2020, yeay!)
Resensi yang lebih singkat udah diposting di instagram wiraniiii ya.
Ini adalah versi resensi dan curhat sedikit.

Pepatah "Jangan menilai buku dari sampulnya" sekali lagi menunjukan kebenarannya.
Novel ini sudah lama tergolek di lemari kamar saya.
Hanya saya sentuh 2-3x untuk melihat tulisan di halaman sampul bagian luar dan dalam saja.

Novel yang sudah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa di 70 negara,
sang penulis mendapatkan penghargaan dari UNHCR,
serta review dari beberapa media ternama seperti Koran Tempo, Kompas, The Jakarta Post, dll.

Sudah.

Selebihnya, saya abaikan karena saya nggak begitu suka dengan gambar sampulnya.
(Wahai desainer sampul, janganlah engkau tersinggung.
Tidak ada yang salah. Ini hanya karena kita berbeda)


---
Judul buku : The Kite Runner
Penulis : Khaled Hosseini
Tebal : 490 halaman
Penerbit : Qanita, Bandung
Tahun terbit : 2014

---
Novel dengan duapuluh lima bab ini ternyata novel fiksi sejarah,
yang membuat pembaca akan larut dalam dimensi Timur yang kental dengan tradisi,
disandingkan dengan dimensi Barat yang khas dengan kemerdekaan.

Sebagai penyuka cerita sejarah (jenis-jenis manusia susah move on :D),
saya menikmati saat Khaled mengajak menyusuri lorong-lorong pasar di Kabul,
ruang bawah tanah tempat para pengungsi berhimpitan,
melihat lebih dekat suku Hazara yang dimarjinalkan.

Penggunaan sudut pandang orang pertama
berhasil membawa saya pada emosi setiap karakter yang diceritakan.

Bagaimana Sang Baba menjaga kehormatan keluarga,
Amir yang terbelenggu rasa bersalah.
Hassan yang setia tanpa pamrih.
Ali sang pengabdi.
Bahkan membenarkan sikap Sanaubar sang bunga desa pada masa itu.

Kisah sepanjang 490 halaman ini punya klimaks dan anti klimaks pada masing-masing Bab-nya.
Khaled seperti bercerita tentang kesaksiannya sebagai pria berdarah Afganistan yang hidup pada masa kecil sebelum pecah peperangan di tanah airnya,
usaha pelarian emosi dan diri pada masa remaja-pemuda,
hingga dia sebagai orang dewasa yang hidup di negara merdeka.

Di hal.255, ketika ayah mertua Amir berpidato pada anak dan mantunya,
untuk sesaat saya seperti dibawa untuk melihat juga yang terjadi di Nusantara.
Betapa konsep bibit, bebet, bobot menjadi dasar yang amat kuat dalam keluarga.
Bahwa ikatan darah itu kuat.

---
Ada beberapa istilah lokal yang dipakai oleh penulis,
yang mungkin cukup sulit untuk dimengerti.
Tapi menurut saya itu adalah bumbu magis yang bisa membawa kita ke plot cerita.

---
4*/5*
The book in my living room