Tuesday, May 5, 2020

Resensi Novel : The Kite Runner

Pertama kali serius meresensi buku nih.
(Lalu ternyata postingan ini adalah postingan pertama di blogs ini tahun 2020, yeay!)
Resensi yang lebih singkat udah diposting di instagram wiraniiii ya.
Ini adalah versi resensi dan curhat sedikit.

Pepatah "Jangan menilai buku dari sampulnya" sekali lagi menunjukan kebenarannya.
Novel ini sudah lama tergolek di lemari kamar saya.
Hanya saya sentuh 2-3x untuk melihat tulisan di halaman sampul bagian luar dan dalam saja.

Novel yang sudah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa di 70 negara,
sang penulis mendapatkan penghargaan dari UNHCR,
serta review dari beberapa media ternama seperti Koran Tempo, Kompas, The Jakarta Post, dll.

Sudah.

Selebihnya, saya abaikan karena saya nggak begitu suka dengan gambar sampulnya.
(Wahai desainer sampul, janganlah engkau tersinggung.
Tidak ada yang salah. Ini hanya karena kita berbeda)


---
Judul buku : The Kite Runner
Penulis : Khaled Hosseini
Tebal : 490 halaman
Penerbit : Qanita, Bandung
Tahun terbit : 2014

---
Novel dengan duapuluh lima bab ini ternyata novel fiksi sejarah,
yang membuat pembaca akan larut dalam dimensi Timur yang kental dengan tradisi,
disandingkan dengan dimensi Barat yang khas dengan kemerdekaan.

Sebagai penyuka cerita sejarah (jenis-jenis manusia susah move on :D),
saya menikmati saat Khaled mengajak menyusuri lorong-lorong pasar di Kabul,
ruang bawah tanah tempat para pengungsi berhimpitan,
melihat lebih dekat suku Hazara yang dimarjinalkan.

Penggunaan sudut pandang orang pertama
berhasil membawa saya pada emosi setiap karakter yang diceritakan.

Bagaimana Sang Baba menjaga kehormatan keluarga,
Amir yang terbelenggu rasa bersalah.
Hassan yang setia tanpa pamrih.
Ali sang pengabdi.
Bahkan membenarkan sikap Sanaubar sang bunga desa pada masa itu.

Kisah sepanjang 490 halaman ini punya klimaks dan anti klimaks pada masing-masing Bab-nya.
Khaled seperti bercerita tentang kesaksiannya sebagai pria berdarah Afganistan yang hidup pada masa kecil sebelum pecah peperangan di tanah airnya,
usaha pelarian emosi dan diri pada masa remaja-pemuda,
hingga dia sebagai orang dewasa yang hidup di negara merdeka.

Di hal.255, ketika ayah mertua Amir berpidato pada anak dan mantunya,
untuk sesaat saya seperti dibawa untuk melihat juga yang terjadi di Nusantara.
Betapa konsep bibit, bebet, bobot menjadi dasar yang amat kuat dalam keluarga.
Bahwa ikatan darah itu kuat.

---
Ada beberapa istilah lokal yang dipakai oleh penulis,
yang mungkin cukup sulit untuk dimengerti.
Tapi menurut saya itu adalah bumbu magis yang bisa membawa kita ke plot cerita.

---
4*/5*
The book in my living room

No comments:

Post a Comment