Monday, October 29, 2012

Perempuan Bijak dan Bermartabat - part 1


Ini dia, salah satu perempuan inspiratif dari Indonesia.
Sebenarnya beliau bukan hanya sekedar inspiratif. Namun terdapat kekayaan tak ternilai dalam lakunya yang sederhana.

Sang Srikandi di masa tuanya

Disarikan dari Biografi Inggit Ganarsih: Perempuan Dalam Hidup Soekarno[1]


Perempuan Bermartabat

Banyak dari kita yang mengagumi sosok sebagai Presiden RI, perintis gerakan Non-Blok, Don Juan yang selalu dikelilingi perempuan cantik, dan orator yang terkenal di seluruh dunia. Namun berapa banyak yang mengetahui perjuangan penuh liku dan kerikil tajam yang ia tempuh sebelum mencapai kesuksesan? Siapakah penyokong terbesarnya?

Sejarah mungkin telah meredupkan nama Inggit Garnasih, istri  yang paling berjasa menghantarkannya ke gerbang kejayaan. Buktinya, saya sama sekali tidak tahu, tidak ingat pernah mendengar nama itu sebelum diberi tahu Mbak Niken dan dipinjamkan biografinya. Setelah baca biografinya, saya berpikir, kok bisa sih perempuan sehebat ini tersembunyikan dari pelajaran sejarah Indonesia? Yang saya tahu, istri Soekarno ya Fatmawati, yang (dibandingkan dengan perjuangan Inggit) ‘hanya’ menjahitkan bendera pusaka merah putih itu. Satu lagi, Dewi  (karena terkenal kecantikannya). Tujuh lainnya saya tidak tahu. Inggit is the real Indonesian first lady.

Penulis menceritakan kisah ini dengan cantik dari berbagai sumber yang dapat dipercaya. Saya terhanyut dalam perjuangan, dan romantisme kisah cinta mereka. Terutama pengorbanan luar biasa yang diberikan Ibu Inggit dalam 20 tahun perkawinan mereka. Antara lain:
  • Banting tulang membiayai rumah tangga dan kuliah.
  • Membiayai kegiatan-kegiatan politik Soekarno, termasuk menyediakan makan para pemuda rekan-rekan Soekarno yang sering berdiskusi di rumahnya.
  • Melayani Soekarno lahir batin; membuatkan jamu, memijiti saat lelah dan sakit, memberi semangat saat jiwa Soekarno lemah dan putus asa.
  • Setia mengunjungi, membawakan makanan, buku, uang saat Soekarno dipenjara, meski jarak 20 km harus ditempuh dengan berjalan kaki.
  • Ikut serta bahkan membawa Ibunya sebagai tim yang mendampingi Soekarno saat diasingkan ke Ende, dipindah ke Bengkulu, Padang, lalu kembali ke Jawa

Soekarno saat itu sulit menggunakan ilmu arsitekturnya karena ia tidak sudi bekerja di bawah pemerintah Belanda, sehingga uang yang dihasilkannya hanya dari honor menulis di koran-koran. Sedangkan Inggit? Apapun ia kerjakan demi membuat suami kesayangannya, tetap menjadi singa podium yang gagah mengaum. Membuat bedak dan lulur, meracik jamu, menjahit baju, menjual kutang, bedak, rokok, dan menjadi agen sabun dan cangkul meskipun kecil-kecilan. Ia bahkan menggadaikan perhiasan, dan menjual tanah peninggalan orang tuanya demi membiayai hidup di pengasingan. Ialah ibu, kawan, kekasih bagi Soekarno.

Lalu tibalah saat yang telah ditentukan Sang Khalik. Tahun 1943, saat Soekarno hampir mencapai puncak kejayaannya. Ia berusia 40 tahun sedang Inggit 53 tahun. Jiwa lelakinya kembali muda, ia ingin memiliki keturunan, yang memang sulit didapat dari Inggit. Yang paling menyakitkan, keinginan ini dipicu oleh ketertarikan Soekarno pada anak angkat mereka, Fatmawati. Ia cinta Fatma, sekaligus menyayangi Inggit. Namun prinsip yang dipegang erat oleh keluarga Inggit, pantang dimadu. Akhirnya terjadilah perceraian itu, saat segalanya telah Inggit berikan. Ia dikembalikan ke pangkuan keluarga dengan membawa dua batu ceper yang selalu ia gunakan membuat bedak dan lulur guna menyambung hidup.

Waktu berjalan, masa berganti. Persembahan cinta Inggit yang agung seakan memudar dan terlupakan. Indonesia merdeka dan memberi kekuasaan tertingginya pada Soekarno, saat Fatmawati menjadi istrinya. Lalu belasan tahun kemudian, saat anak-anak (yang menjadi alasan perceraian Soekarno-Inggit) telah lahir dari Fatmawati, hati Soekarno menjelajahi perempuan-perempuan cantik lain yang dinikahi selang satu sampai tiga tahun saja. Sebutlah Hartini, Dewi, Kartini, Haryati, Yurike, dan Heldy. Entah karena alasan apa, mungkin hanya karena ia adalah pencinta perempuan. Sesederhana itu.

Simaklah bagaimana Inggit menguatkan Soekarno di saat-saat paling lemah dalam hidupnya. Setelah lulus dan terlibat pergerakan politik, pemerintah Belanda menganggapnya sebagai ancaman sehingga Kusno ditangkap, dipenjara di Bantjeuy. Kemudian ia dipenjara lagi di Sukamiskin. Praktis, ia tidak bisa menghidupi keluarga. Justru Inggitlah yang memenuhi kebutuhan keluarga, sekaligus kesejahteraan Soekarno di dalam penjara.

Lalu saat di pengasingan di Ende, Soekarno terjangkit malaria. Saat itu, kondisi jiwa Soekarno sangat lemah. Berkali-kali ia mengeluh kepada Inggit. Ia pernah berucap keinginan untuk mebuat taktik berpura-pura bekerja sama dengan pemerintah agar segera kembali ke Jawa. Inggit sebaliknya menolak dan memandang Soekarno berjiwa lemah.

Saat Ibu Inggit menemui Soekarno terakhir kalinya di dalam peti jenazah, ia berucap, “Ngkus (Kusno: sapaan Inggit bagi ), geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun..”. Dan itu bukanlah bukti terakhir cinta Inggit pada Soekarno. Tahun 1980 saat berita mengenai kelemahan politik Soekarno mencuat, Ibu Inggit memberikan sanggahannya pada wartawan yang mewawancarainya.

Istri-istri Soekarno mencicipi manisnya kehidupan di istana, diberi rumah di Kebayoran, Slipi, Gatot Subroto, sementara Inggit hanya mampu menatap puing-puing rumah panggung di Jalan Ciateul yang penuh memori kebahagiaan, kesengsaraan, dan perjuangan bersama Kusno kesayangannya. Kamar dan rumahnya begitu sederhana. Harta miliknya hanyalah radio Philips buatan tahun 1949, sebuah foto Bung Karno tersenyum manis, sebuah teropong dan perangkat makan sirih serta sebuah pispot. Ditambah dua buah balai-balai dan sebuah lemari kayu murahan.

Rasanya tidak berlebihan kalau berpikir, ‘Tanpa dukungan Ibu Inggit, mungkin tidak akan ada putra terbaik bangsa yang kemampuan dan kharismanya diakui di berbagai negara. Mungkin sekarang kita masih akan sengsara dalam penjajahan’. Dan saya tidak tahan untuk tidak berpikir, ‘Di antara sekian banyak istri Soekarno, siapakah yang akan dipilihnya menjadi permaisuri di akhirat nanti?’ 

Lalu satu lagi, ‘Seandainya Soekarno memiliki keturunan dari Ibu Inggit, akan jadi sehebat apakah dia?’

Sang Srikandi muda bersama Sang Proklamator
Inggit Garnasih

  • Lahir di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 17 Februari 1888
  • Meninggal di Bandung, Jawa Barat, 13 April 1984 pada umur 96 tahun. Inggit adalah istri kedua , presiden pertama Republik Indonesia.
  • Mereka menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung.
  • Pernikahan mereka dikukuhkan dengan Soerat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24 Maret 1923, bermaterai 15 sen, dan berbahasa Sunda.
  • Sekalipun bercerai tahun 1943, Inggit tetap menyimpan perasaan terhadap , termasuk melayat saat  meninggal.
  • Kisah cinta Inggit-  ditulis menjadi sebuah roman yang disusun Ramadhan KH yang dicetak ulang beberapa kali sampai sekarang.

Arti nama Inggit Ganarsih

Ia terlahir dengan nama Garnasih saja. Garnasih merupakan singkatan dari kesatuan kata Hegar Asih, dimana Hegar berarti segar menghidupkan dan Asih berarti kasih sayang. Kata Inggit yang kemudian menyertai di depan namanya berasal dari jumlah uang seringgit. Diceritakan bahwa Garnasih kecil menjadi sosok yang dikasihi teman- temannya. Begitu pula ketika ia menjadi seorang gadis, ia adalah gadis tercantik di antara teman-temannya. Di antara mereka beredar kata- kata, "Mendapatkan senyuman dari Garnasih ibarat mendapat uang seringgit.” Banyak pemuda yang menaruh kasih padanya. Rasa kasih tersebut diberikan dalam bentuk uang yang rata- rata jumlahnya seringgit. Itulah awal muda sebutan "Inggit" yang kemudian menjadi nama depannya.




[1] Resensi buku “Perempuan dalam Hidup  : Biografi Inggit Ganarsih”, Ombak, 2007.

No comments:

Post a Comment